Beberapa
pekan yang lalu, saya pergi ke salah satu kantor pemerintah. Sebuah departemen
yang bila dilihat dari namanya saja, kita mungkin berpikir bahwa orang-orang
yang berada di dalamnya (pejabat dan pegawainya) cukup berakhlak. DEPARTEMEN
AGAMA (Maaf, saya terpaksa menyebutkannya).
Saya
yang seorang guru honorer rela terpontang-panting mengurus berkas ke sana ke
mari demi secercah harapan kehidupan. Di tengah hujan deras, saya memacu gas motor agar tidak
terlambat menyetor berkas. Alhasil, pakaianku basah karena air menembus jas
hujanku. Tapi, saya tetap tersenyum. Hujan tak lekas menyurutkan semangatku
untuk menyelesaikan urusan ini.
Dan
tibalah pada saat saya harus berurusan dengan pegawai yang menangani kami,
guru-guru tersertifikasi. Ada sesuatu yang berbeda dengan pegawai ini. Sungguh berbeda
180 derajat. Ia tak lagi tersenyum
seperti biasanya. Sikap dinginnya membuatku bingung. Ada apa gerangan? Kesalahan
apa yang telah kuperbuat sehingga ia menandatangani berkasku dengan sikap
seolah begitu kesal kepadaku?
Sedikit
tersadar ketika salah satu rekan guru dari sekolah lain bertanya apakah saya
punya amplop. Saya balik bertanya, “Loh, amplop untuk apa?” Dia menjawab, “Sedikit
pembeli rokok untuk pak B.” Yang dimaksud rekanku tadi adalah pegawai yang
tadi.
Akhirnya
saya memberanikan diri untuk bertanya pada salah satu rekan yang berasal dari
sekolah yang sama denganku. Saya pun menceritakan kejadian tentang pegawai
tadi. Rekanku itu menjawab sambil tertawa, “Oh, itu artinya dia menunggu
sesuatu.”
Waktu
itu saya berpikir sejenak, kemudian langsung tersadar dan mengerti. Intinya
tidak ada yang gratis di dunia ini. No money no smile. Saya baru tahu kalau
selama ini kebanyakan guru yang tersertifikasi melalui departemen ini rupanya memberi
setoran kepada pegawai-pegawai yang bersangkutan dengan mereka. Ada yang
menyebutnya sebagai tanda terima kasih, ada pula yang menyebutnya sebagai pelicin.
Ini sudah jadi rahasia umum. Hanya saja saya yang terlalu lugu dan polos.
Sungguh
memprihatinkan Negeriku ini. Sogok menyogok sudah menjadi budaya yang mengakar
dan melebar. Yang menyogok dan yang disogok sudah tidak punya rasa malu,
terlebih lagi rasa takut kepada Tuhan.
Dilema
alias serba salah. Sejak kecil saya dididik oleh orang tua saya untuk
senantiasa berlaku jujur dan ikhlas. Saya sudah terbiasa meraih sesuatu tanpa
harus menyogok. Mereka para pejabat dan pegawai pemerintah rupanya belum cukup
puas dengan gaji bulanannya yang mungkin berkali lipat dari hasil sertifikasi
honorer yang saya terima. Bila saya menolak untuk memberi mereka ‘amplop’, kemungkinan
besar segala urusan saya yang berhubungan dengan kantor ini akan dipersulit dan
rekan-rekan sesama guru akan menganggap saya pelit. Bila saya memberi mereka ‘amplop’,
itu artinya saya turut membudayakan kebiasaan menyogok. Dan bila hal ini
dibiasakan, mereka tentu akan semakin bersikap tidak ikhlas kepada mereka yang
tak memberi pelicin. Padahal, sepatutnya sudah menjadi tugas mereka sebagai
abdi Negara.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membuka aib, saya hanyalah orang biasa yang merasa tidak nyaman dengan kejadian seperti ini. Dan saya sangat berharap agar Depag segera membenahi diri karena sesungguhnya keikhlasan dalam bekerja diberkahi Allah SWT. Seperti motto Depag 'Ikhlas Beramal'. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita sehingga terhindar dari azab kubur dan api neraka. Amin Ya Rabb....
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membuka aib, saya hanyalah orang biasa yang merasa tidak nyaman dengan kejadian seperti ini. Dan saya sangat berharap agar Depag segera membenahi diri karena sesungguhnya keikhlasan dalam bekerja diberkahi Allah SWT. Seperti motto Depag 'Ikhlas Beramal'. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita sehingga terhindar dari azab kubur dan api neraka. Amin Ya Rabb....
Komen Dulu Akh
ReplyDelete