Yang namanya penolakan pasti rasanya
sakit banget. Rasanya lebih sakit dari putus cinta. Jadi kepikiran terus gimana
nasib rumah idamanku. Otak sudah mulai berpikir keras gimana caranya supaya
rumah yang sudah saya pilih tersebut tidak batal untuk dibeli. Jadi ceritanya
begini………
6 bulan yang lalu saya sudah survey
beberapa perumahan yang hendak kami beli. Sebenarnya niatnya hanya sekedar
tanya-tanya saja dulu. Urusan beli atau tidak, nanti dipertimbangkan. Tuk bayar
DP saja rasanya masih berat. Terakhir kami survey lokasi perumahan BTN Bumi
Lestari 2 di limbung, saya benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sebenarnya saya sudah ceritakan alasannya pada tulisan sebelumnya (Baca: Hunting Perumahan). Akhirnya
kami mengajukan berkas di bank BTN, bank yang dipilih oleh pemilik rumah yang
akan kami beli. Harga cash rumah tersebut adalah 250 juta dengan DP 30 juta.
Berarti plafon yang akan kami pinjam dari bank sekitar 220 juta rupiah. Kami
pun diminta untuk membayar DP awal sekitar 10 juta dan kami sudah penuhi.
Dengan bukti pembayaran kwitansi bermaterai. Tak berapa lama, si penjual rumah yang
dalam hal ini diwakili oleh anaknya yang bernama Y karena bapaknya sedang tugas
di Bandung, meminta kami untuk membayar DP 10 juta lagi. Dan kami pun terpaksa
harus membayar lagi dengan harapan proses pengajuan berkas kami di bank tidak
akan lama lagi terselesaikan. Jadi total DP yang telah kami bayarkan adalah 20
juta rupiah. Berkas yang kami setorkan ke bank waktu itu antara lain, mengisis
formulir pengajuan yang dilengkapi foto suami istri ukuran 3 x 4, fotocopy KTP,
fotocopy KK, print out rekening Koran 6 bulan terakhir, NPWP dan Surat
Keterangan Usaha.
Awalnya
saya ingin mengajukan berkas atas nama saya sebagai Istri, tapi pihak penjual
rumah lebih memilih berkas data suami. Akhirnya saya ikuti saja keinginan
mereka. Setelah menunggu sekitar 2 minggu, ada panggilan dari bank untuk
wawanncara. Waktu itu bulan Ramadhan, saya sedang ada pelatihan di balai diklat
dan terpaksa saya harus bolos, keluar dari kelas tanpa sepengetahuan widyaswara ataupun panitia.
Pikirku cuma sebentar saja. Wawancara
kami memang berlangsung tidak begitu lama. Hanya sekitar kurang lebih setengah
jam. Tentu saja poin yang paling penting ditanyakan adalah jumlah penghasilan
per bulan, sumbernya dari mana saja dan berapa jumlah karyawan yang dimiliki.
Tak
berapa lama pihak pengurus berkas kami menghubungi kami lagi agar mengganti
Surat Keterangan Usaha kami yang tadinya kami cantumkan hanya 3 tahun, diganti
jadi 5 tahun. Syukur saja ada adik yang bekerja sebagai staf di kantor desa.
Jadi kami tidak begitu kesulitan mengganti Surat Keterangan Usaha kami.
Setelah
lebaran idul fitri atau sebulan kemudian, belum juga ada kabar tentang
pengajuan kami di bank. Saat itu orang tuaku berniat membantu kami untuk
membiayai pembangunan dapur rumah yang akan kami beli. Begitu pinjaman banknya
cair, mulailah mereka membeli bahan dan alat yang akan digunakan dan juga
menghubungi tukang yang akan mengerjakan dapur kami. Kami pun memasang mesin
air agar ada sumber air yang bisa digunakan. Tadinya dibrosur iklan runah yang
kami terima, tercantum ada air PDAMnya. Tapi ternyata tuk memasang air PDAM,
biayanya tidak murah. Jadi mereka hanya menyediakan kami pipa bor.
Lebih
dari sebulan akhirnya dapur kami sudah rampung sekitar 90 persen. Itupun mesti
ganti tukang karena tukang kami yang pertama terkesan memperlambat kerjanya.
Padahal mereka dibayar harian. Tukang yang kedua pun tidak begitu memuaskan
karena mereka hanya bisa bekerja di malam hari karena mereka mempunyai
pekerjaan utama pagi sampe sore hari. Dan akhirnya, kerja mereka jadi tidak
maksimal karena mereka kadang tidak masuk kerja karena kelelahan. Syukur
Alhamdulillah dapur bagian dalamnya sudah lumayan bagus tinggal di cat dan
diplester bagian luarnya.
Sehari
setelah lebaran Idul Adha, kami sudah sempat masuk rumah kecil-kecilan. Kami
pun memutuskan untuk nginap semalam di sana bersama beberapa kerabat yang lain.
Malam selanjutnya kami coba lagi untuk nginap, tapi sepertinya Jagdish, anak
kami belum siap tuk tinggal di rumah yang baru. Dia nangis-nangis mencari
alasan agar bisa pulang. Dia masih nyaman dengan kamarnya yang ada di rumah
orang tua kami. Pukul 2 dini hari, kami terpaksa pulang ke rumah orang tua kami
di Boka.
Beberapa
hari kemudian,kami menerima telpon dari pusat bank BTN tuk konfirmasi katanya.
Sebenarnya kami sudah pernah dihubungi sebelumnya, akan tetapi kami tidak tahu
bahwa akan dihubungi oleh pihak bank sehingga terlewatkan begitu saja. Jadilah
kami menunggu lagi untuk panggilan berikutnya. Pak suami hanya menjawab pertanyaan
bank dengan jawaban ya/tidak (begitu yang saya dengar).
Sejak
terakhir kami meninggalkan rumah lewat tengah malam tadi, kami sudah tidak
pernah lagi datang ke rumah tersebut untuk nginap. Kami pernah datang ke sana
sekali, tapi hanya untuk mengambil beberapa barang. Padahal pihak penjual rumah
sudah mengizinkan kami untuk tinggal di rumah itu. Hanya saja kami merasa tidak
enak dengan nenek si pemilik rumah yang datang beberapa kali berniat untuk
menagih pelunasan rumah tersebut. Kami pun sempat terganggu dengan kedatangan
nenek tersebut. Sepertinya beliau tidak mengerti dengan prosedur bank. Setelah
kami jelaskan, barulah beliau sedikit paham. Tapi tetap saja, kami merasa tidak
nyaman untuk menempati rumah tersebut sebelum ada kesepakatan akad kredit.
Kami
pun menanti hari berganti hari, minggu pun silih berganti., ternyata ada lagi
informasi bahwa berkas pengajuan suami diganti menjadi berkas pengajuan istri.
Mungkin berkas sebelumnya sudah ditolak. Yaaa…berarti harus memulai lagi dari
awal. Kembali lagi saya diminta untuk melengkapi berkas, laporan SPT dan print
out rekening Koran 3 bulan terakhir. Setelah itu kami menunggu panggilan untuk
wawancara kembali. Sesuai dengan janji melalui telpon, kami pun memenuhi
panggilan untuk wawancara. Namun, pada saat kami datang, kebetulan Ibu R yang
akan mewawancarai kami sedang ada wawancara lainnya, jadi beliau menyampaikan
agar wawancara kami lewat telpon saja. Kami pun menunggu telpon dari Ibu R
sampai berhari-hari, namun belum jua ada panggilan dari beliau. Akhirnya kami
memutuskan untuk datang saja ke bank menemui Ibu R. Kami pun diwawancara lagi.
Setelah itu kami diminta untuk menunggu telepon konfirmasi dari pusat
(Jakarta). Sebelumnya Ibu R, meminta nomor telpon salah satu kerabat dan
atasan, serta jam-jam untuk bisa menghubungi mereka.
Menunggu
hampir sebulan lamanya sejak wawancara yang kedua, tapi telepon dari pusat
belum datang jua. Saya tadinya berprasangka baik, mungkin antrian berkas lagi
numpuk. Hingga suatu hari kami dengar kabar dari si penjual rumah bahwa berkas
kami ditolak. Sumpah kaget seketika. Tadinya nasi sudah di piring hendak makan,
tapi dengar kabar buruk itu selera makan hilang seketika. Trus saya coba
konfirmasi ke Bu R. Chat via Wa, takutnya beliau sedang sibuk. Nunggu sekitar
beberapa jam chatku baru dibalas, saya diminta nelpon jam 3. Sekitar jam 3 sore
saya coba hubungi kembali Bu R, tapi sayangnya saya disuruh lagi nunggu 20
menit, nanti saya yang akan dihubungi oleh beliau. Akhirnya saya stand by dekat
HP selama 20 menit…satu jam….dua jam….tiga jam….hingga hari berganti. Esoknya
saya hubungi kembali Bu R, tapi belum juga dibalas. Esoknya lagi, saya coba
lagi chat beliau, lagi-lagi tidak dibalas, hanya di-read.
Kami
putuskan untuk datang langsung menemui Bu R di bank. Syukur Alhamdulillah bisa
ketemu. Dan penjelasan beliau tentang penolakan berkas kami yaitu pertama Surat
Keterangan Usaha yang kami masukkan di awal pengajuan berkas hanya 3 tahun,
padahal persyaratan harusnya minimal 5 tahun. Saya pun mencoba menjelaskan
bahwa kami sebenarnya telah mengganti Surat Keterangan Usaha kami dengan jangka
waktu 5 tahun sejak masih pengajuan berkas atas nama suami saya. Tapi beliau
tetap bersikeras bahwa yang ada diberkas hanya 3 tahun. Saya sebenarnya agak
dongkol dalam hati kepada pengurus berkas kami yang tidak begitu memperhatikan
berkas kami. Harusnya dia sudah mengecek dari awal segala kelengkapan berkas
kami, sudah oke atau belum. Jujur kami ini juga terbilang baru dalam hal
pengajuan berkas pinjaman semacam ini. Jadi meskipun kami sudah mengganti Surat
Keterangan Usaha kami dengan lama 10 tahun di pengajuan berkas atas nama saya,
pihak yang mensurvey tempat usaha kami tetap menginput data usaha kami yang
lamanya 3 tahun dengan alasan masih dengan usaha yang sama di pengajuan awal. Sehingga
berkas kami langsung direject.
Sebenarnya
Bu R berniat mengajukan banding dengan menjelaskan bahwa sebenarnya tadinya
usaha saya dan suami terpisah sebelum kami menikah dan baru kami gabungkan
menjadi satu sejak kami sudah menikah dan lamanya adalah 5 tahun. Namun, Pak RU
bapak dari Y pihak penjual rumah
menelpon kepada Bu R dan menanyakan perihal berkas kami yang begitu lama dan
prosesnya bertele-tele. Bu R pun menjelaskan bahwa mereka hanya berusaha
membantu bagaimana caranya supaya berkas bisa di-approve. Tapi pak RU malah
marah-marah dan menuduh yang tidak-tidak kepada Bu R tentang sertifikat
rumahnya. Pak R mengira bahwa serifikat rumahnya ditahan oleh Bu R, padahal
yang sertifikatnya sudah ada di tangan notaris.
Apa boleh
buat Bu R sudah terlanjur kesal juga karena telah dituduh yang tidak-tidak dan
membawa-bawa nama instansi tempat pak RU bekerja. Akhirnya berkas kami yang
tadinya ingin diajukan banding, terpaksa ditahan dulu sampai ada konfirmasi
dari pihak penjual dan pembeli, apakah berkasnya masih mau lanjut diproses atau
tidak dengan konsekuensi kecil kemungkinan akan disetujui.
Setelah
berdiskusi dengan Y, anak pihak penjual rumah, kami memutuskan untuk menyerahkan
ke bu R untuk memastikan dulu, apakah
pihak yang mensurvey dan menginput data Surat Keterangan Usaha kami, masih
bersedia mengubah datanya setelah mendengar penjelasan Bu R.
Kami
pun pulang, Bu R hanya meminta saya untuk menghubungi beliau sekitar jam 5 Sore
untuk menginformasikan apakah berkasnya masih bisa dilanjut atau tidak. Sekitar
jam 5 lewat, saya pun menghubungi Bu R. Tak berapa lama sudah ada balasan
dengan bunyi, “Mohon maaf bu, berkasnya tidak bisa dilanjut.” Saya hanya bisa
membalas, “Terima kasih atas bantuannya selama ini bu. Besok saya ambil
berkasnya. Bisa bu?” Dijawabnya “Iya bu.”
Duh….sedihnya.
Hati makin hancur rasanya. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Penantian selama
enam bulan berujung penolakan. But this is not the end of the world. Saya pun
berpikir tuk mengajukan kembali ke bank lain. Saya coba bank BRI, mudah-mudahan
langkah kami tidak begitu dipersulit mengingat kami juga adalah salah satu
mitra bank BRI yaitu agen Brilink.
*Sebenarnya sejak dari awal saya tidak
pernah berniat untuk berurusan masalah hutang piutang dengan bank, tapi apa
boleh buat saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan rumah yang telah kami pilih
tersebut. Saya pun tak putus-putusnya berdoa ke pada Allah agar diberikan jalan
yang terbaik, jalan yang diridhoi oleh Allah. Kalaupun bank menolak pengajuan
pinjaman kami, semoga Allah memberikan jalan lain yang tak kami sangka-sangka,
dengan jalan yang halal, bukan dengan jalan riba. Aamiin…aamiin ya Rabbal
Alamin……