Seperti kata
pepatah dalam bahasa Inggris “different pond, different fish” atau dalam bahasa
Indonesia “lain lubuk, lain ikannya”. Sehari-hari saya mengajar Bahasa Inggris.
Saya mengajar di dua tempat. Yang pertama di sebuah pesantren dan yang kedua di
sebuah tempat kursus Bahasa Inggris. Di pesantren atau tepatnya di madrasah
tsanawiyah saya mempunyai jadwal tiga kali seminggu, sementara di tempat kursus
jadwalnya setiap hari dari pukul 13.00 hingga 18.30.
Awalnya saya
memang tidak pernah berniat untuk menjadi seorang guru. Tapi, ternyata Tuhan telah
merencankanku untuk menjadi seorang guru. Tahun 2006, saya mulai mengajar di
pesantren, kala itu saya masih semester ke 5 di perguruan tinggi. Saya tiba-tiba
dihubungi oleh salah seorang kerabat dekat yang juga merupakan kepala sekolah
di madrasah. Saya diminta menggantikan guru bahasa Inggris yang sedang cuti
hamil. Sempat ingin menolak dengan alasan saya tidak ingin jadi guru. Beribu
alasan berekelebat di benakku, karena ukuran tubuhku yang kecil mungil, takut
di olok-olok oleh siswa-siswaku, takut tidak bisa memarahi mereka yang bandel,
takut tidak bisa membuat mereka memahami pelajaran. Tapi setelah berpikir
matang-matang, saya hanya butuh pengalaman. Saya ingin merasakan bagaimana
menjadi seorang guru. Pertama kali masuk mengajar, dugaanku tidak sepenuhnya
benar. Ya memang ada beberapa siswa yang sempat mengejek secara tidak langsung bahwa
saya pendek, namun kebanyakan menyambut saya dengan gembira. Kesyukuran saya
bertambah karena rekan-rekan guru yang saya temui baik dan ramah. Tiap kali
selesai mengajar, kami duduk-duduk dulu mengobrol, atau nonton TV sambil makan
kue dan minum teh. Semakin hari semakin merasa dicintai oleh santri-santri
membuatku semakin mencintai dunia pendidikan. Sebuah motivasi dan semangat yang
membuat saya cinta menjadi guru. Sayang sekali, beberapa tahun belakangan ini
rasanya sungguh jauh berbeda, bukan lantaran santri-santrinya. Saya bersyukur
mereka masih mencintai saya. Yang membuat saya prihatin adalah hubungan sesama guru
yang semakin merenggang. Saya memang tidak begitu banyak bicara, namun saya
mengamati dan mempelajari karakter dan gerak-gerik mereka. Kecewa, karena apa
yang pernah berlangsung menyenangkan dulunya, kini tidak lagi. Ini pendapat pribadi
saya tentang teman-teman saya, yang satu sibuk mengeluhkan dan marah-marah
tentang kebersihan yang kurang dan benda-benda inventaris sekolah yang hilang
sembari menuduh si ini dan si itu. Satunya lagi guru yang tadinya rajin karena
sering bersilang pendapat dengan kepala sekolah, jadinya malas ke sekolah. Satunya
lagi sibuk dengan urusan administrasi sekolah dan terkesan tidak tulus. Dan yang
lainnya ada yang dua orang punya hubungan keluarga yang sama-sama sok
perfeksionis, ada pula yang pelitnya minta ampun (masa’ saya disuruh beli
sesuatu yang harganya 7ribu rupiah, saya dikasi uang 5ribu rupiah. Eh, minta
kembaliannya 3ribu pula), dan parahnya lagi kepala sekolah yang jarang muncul
di sekolah. Tidak nyaman, namun ini demi tanggung jawab dan rupiah.
Pada saat
semester akhir, di tahun 2008, saya merasa mempunyai cukup banyak waktu luang.
Rugi rasanya bila saya menyia-nyiakan begitu banyak waktu yang seharusnya saya isi dengan sesuatu yang
bermanfaat. Kegiatan saya saat itu, hanyalah sekedar ke kampus untuk
berkonsultasi dengan dosen, mengajar di pesantren dua kali seminggu, hang out
ke mall, dan sisanya melakukan pekerjaan rumah dan bersantai. Dan tiba-tiba seorang teman menghubungi saya
untuk mengajukan lamaran di tempatnya mengajar. Dan Alhamdulillah saya diterima
di tempat kursus tersebut. Mulailah hari-hariku menjadi semakin sibuk. Saya pun
tidak pernah menyangka bahwa kami hanya libur di hari minggu dan harus pulang
di malam hari. Meski tidak punya jadwal harus tetap stand by di sana. Di awal-
awal sempat merasa tidak nyaman karena salah seorang rekan kerja saya terkesan
terlalu memojokkan dan meremehkan kinerja saya. Beberapa orang siswa yang belum
mengenal saya dengan baik langsung menjudge bahwa saya tidak baik. Ingin rasanya
mangkir, namun kontrak kerja baru saja di tanda tangani. Harus pasrah terima
nasib. Tadinya saya sering tidur siang, semenjak mengajar di Oxford tidak
pernah ada waktu untuk itu. Saya pun semakin jarang mengikuti acara-acara
keluarga. Alasannya, saya kelelahan, pagi ngajar di sekolah, siang sampai malam
ngajar di Oxford. Masih teringat betapa kakunya sistem yang berjalan. Tidak boleh
telat, tidak boleh cepat pulang. Tidak boleh tidak masuk kantor kecuali bila sakit
(sakit yang benar-benar sakit). Namun sekarang keadaan berbalik. Orang yang
tadinya sering memojokkanku sekarang justru membutuhkanku sebagai tempat
curhatnya. Dan tidak ada lagi karyawan tetap yang laki-laki. Semua wanita,
masih single dan muda. Tidak perlu ragu untuk mengeluarkan pendapat. Bergosip,
bercanda dan tertawa bersama merilekskan suasana. Bila ngantuk bisa tidur siang
atau berbaring sejenak. Rejeki berupa kiriman makanan dari siswa, orang tua
siswa, ataupun traktiran terus mengalir. Alhamdulillah….sejauh ini saya merasa
nyaman. Semoga keceriaan terus menerus berlangsung. Amin ya Rabb.
Di pesantren
harus bisa jaga imej karena tidak semua santri merupakan santri yang fine. Sebagian
dari mereka adalah anak-anak yang akhlaknya kurang baik. Sebisa mungkin memberi
contoh yang baik bagi mereka. Sementara Oxford adalah tempat yang flexible. Hubungan
antara guru dan siswa cukup easy going. Apapun itu, Oxford dan Pesantren adalah
tempat yang berbeda. Keduanya tak bisa
disamakan. Namun, keduanya tetap istimewa.
No comments:
Post a Comment