Wednesday, November 7, 2012

Maaf Tuhan Bila Saya Sering Mengeluh


Ketika saya telah berusaha dengan keras,
mengeluarkan seluruh kemampuan terbaik,
Namun, ternyata saya gagal,
Ketika saya berdoa siang dan malam,
mengharapkan sesuatu yang kuimpikan,
Namun, ternyata kenyataan tak seindah harapan,
Sedih dan kecewa bergelayut di hati,
Sering kali mengeluh dalam hati,
Tak tahu harus ke mana berbagi derita,
Tak ada teman untuk berbagi cerita,
Satu-satunya tempatku mengadu adalah Pada-Mu Allah ya Tuhanku,
Maaf bila saya sering mengeluh...

Meremehkan dan Diremehkan



Sabtu, 03 November 2012
Rentetetan ketidakberuntungan dan kekecewaan yang hari ini saya alami, mungkin berawal dari kesalahan kecil yang saya lakukan di permulaan hari. Pagi ini saya bangun agak kesiangan dari biasanya padahal ini adalah hari Sabtu, berarti jadwal ke sekolah. Huh, badanku masih terasa lelah. Entah mengapa beberapa pekan belakangan ini saya begitu mudah merasa lelah. Saya harus bergegas menyiapkan segala sesuatunya. Menyiapkan perlengkapan mengajar, menyetrika pakaian, membereskan rumah lantai atas, menyiapkan sarapanku, dan sebagainya. Tapi, saya tidak menemukan buku yang akan saya gunakan untuk mengajar hari ini. Berpikir beberapa saat, iblis mulai membisikkan godaannya…”ya sudah, hari ini ga’ usah ke sekolah dulu. Lagian kamu kan lagi tidak enak badan. Tubuhmu masih lemah. Ditambah lagi kalau kamu ke sekolah kamu akan semakin kelelahan menghadapi siswa-siswa yang bandel. Plus merasa super bĂȘte di ruangan kantor menunggu giliran mengajar bersama dengan orang yang tidak easy going”. Dengan secepat kilat kuraih handphoneku. Jemariku mengetik pesan singkat satu kepada wakil kepala sekolah dan satunya lagi kepada rekan sesama guru, berniat untuk meminta izin.

Sekedar info, salah satu alasan mengapa saya tidak ke sekolah adalah demi menghemat tenaga. Saya telah mengatur janji bersama teman-teman KKNku dulu untuk menghadiri pesta pernikahan salah satu teman. Bahkan demi pesta pernikahan temanku ini saya telah mengorbankan satu kelasku di tempat kursus, saya minta izin dari pukul 14.30-15.30, sesuai perjanjian kami bertemu di depan Balla Lompoa pada pukul 14.30. Saya pun sudah berdandan maximal.

Tiba di kantor tempat kursus, saya sudah disambut oleh perasaan kecewa. Salah satu studentku sedang di sidang dengan berbagai pertanyaan untuk mengetes sejauh mana perkembangan Bahasa Inggrisnya. Dan apa yang terjadi? Oh My God, studentku itu tidak mampu menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Terus terang saya shock berat. How could she didn’t know anything? Beberapa rekanku yang memberi pertanyaan kepada studentku itu berkata seolah meremehkan kemampuan teachernya. Apabila student berkembang dengan lambat, lantas apakah itu sepenuhnya kesalahan teachernya? Salah satu rekanku itu mulai membanggakan dirinya bahwa metodenya lah yang paling berhasil, terbukti dari students yang dihasilkannya. Di satu sisi saya mengiyakan, tapi di sisi lain menurutku ia hanya beruntung karena students yang dia hadapi adalah students yang memang sedari awal sudah cerdas. Tak sedikit kok students yang mundur akibat ketidakmampuan mereka menghadapi pressurenya. Merasa terhina, seakan wajahku diludahi.

Pukul 14.30, saya belum juga mendapat kabar satupun dari temanku. Kuhubungi satu persatu dari mereka untuk memastikan keberadaan mereka. Dan ternyata mengecewakan dua orang pertama yang kuhubungi menyatakan alasan bahwa mereka tidak bisa ikut serta. Orang ketiga yang kuhubungi akhirnya mengatakan ya. Kami pun janjian bertemu di depan Kampus Unismuh. Namun, satu hal membebaniku lagi, jam sudah menunjukkan hampir pukul 15.00. Segera kutancap gas motorku. Namun, diperjalanan, macet dan hujan gerimis menyertaiku. Tiba dikampus Unismuh saya menunggu sembari menghubungi temanku itu, namun ia belum jua muncul. 15 menit lagi kelasku akan segera dimulai. Bila saya tetap nekat pergi, saya akan sangat terlambat. Dengan perasaan tidak enak hati saya menghubungi temanku itu, meminta maaf bahwa saya tidak bisa melanjutkan perjalanan ke pesta pernikahan. Tanggung jawabku lebih besar dari pada menghadiri pesta pernikahan salah seorang teman yang belum tentu menganggapku ada.

Tidak ingin menambah dosa dengan berbohong, saya mengatakan yang sebenarnya kepada rekan-rekan saya bahwa saya tidak sampai tujuan di pesta. Meski malu dan kecewa rasanya, ini jauh lebih baik.  Berusaha tersenyum sebisa mungkin agar tak seorang pun membaca betapa kecewanya saya.

Pulang ke rumah setelah beres-beres di kantor, persiapan untuk ujian studentsku besok pagi. Baru berjalan beberapa meter, saya sudah disambut oleh macet panjang. Saya khawatir dengan kondisi motorku yang sudah sering mogok dan rem tangannya sudah tidak begitu bagus. Saya harus melewati macet sejauh 4 km. Hari ini saya lelah, teramat lelah.    

Pengalaman yang tidak menyenangkan ini membuat saya belajar untuk:
-    Jangan meremehkan hal-hal yang sering dianggap kecil dan lakukanlah segala sesuatunya dengan ikhlas.
-       Bila memiliki janji, konfirmasi lah terlebih dahulu, sebelum akhirnya mengorbankan sesuatu dan ternyata sia-sia.
-    Biarlah orang lain meremehkan. Jadikan motivasi untuk menjadi lebih baik. Teringat kata- kata Mario Teguh, “Percaya saja, di masa depan engkau akan melihat orang yang menghinamu sekarang berada di bawahmu.”
-        Tetap tersenyum meski hati sedang bersedih.


Friday, November 2, 2012

Antara Pesantren dan Oxford



Seperti kata pepatah dalam bahasa Inggris “different pond, different fish” atau dalam bahasa Indonesia “lain lubuk, lain ikannya”. Sehari-hari saya mengajar Bahasa Inggris. Saya mengajar di dua tempat. Yang pertama di sebuah pesantren dan yang kedua di sebuah tempat kursus Bahasa Inggris. Di pesantren atau tepatnya di madrasah tsanawiyah saya mempunyai jadwal tiga kali seminggu, sementara di tempat kursus jadwalnya setiap hari dari pukul 13.00 hingga 18.30.

Awalnya saya memang tidak pernah berniat untuk menjadi seorang guru. Tapi, ternyata Tuhan telah merencankanku untuk menjadi seorang guru. Tahun 2006, saya mulai mengajar di pesantren, kala itu saya masih semester ke 5 di perguruan tinggi. Saya tiba-tiba dihubungi oleh salah seorang kerabat dekat yang juga merupakan kepala sekolah di madrasah. Saya diminta menggantikan guru bahasa Inggris yang sedang cuti hamil. Sempat ingin menolak dengan alasan saya tidak ingin jadi guru. Beribu alasan berekelebat di benakku, karena ukuran tubuhku yang kecil mungil, takut di olok-olok oleh siswa-siswaku, takut tidak bisa memarahi mereka yang bandel, takut tidak bisa membuat mereka memahami pelajaran. Tapi setelah berpikir matang-matang, saya hanya butuh pengalaman. Saya ingin merasakan bagaimana menjadi seorang guru. Pertama kali masuk mengajar, dugaanku tidak sepenuhnya benar. Ya memang ada beberapa siswa yang sempat mengejek secara tidak langsung bahwa saya pendek, namun kebanyakan menyambut saya dengan gembira. Kesyukuran saya bertambah karena rekan-rekan guru yang saya temui baik dan ramah. Tiap kali selesai mengajar, kami duduk-duduk dulu mengobrol, atau nonton TV sambil makan kue dan minum teh. Semakin hari semakin merasa dicintai oleh santri-santri membuatku semakin mencintai dunia pendidikan. Sebuah motivasi dan semangat yang membuat saya cinta menjadi guru. Sayang sekali, beberapa tahun belakangan ini rasanya sungguh jauh berbeda, bukan lantaran santri-santrinya. Saya bersyukur mereka masih mencintai saya. Yang membuat saya prihatin adalah hubungan sesama guru yang semakin merenggang. Saya memang tidak begitu banyak bicara, namun saya mengamati dan mempelajari karakter dan gerak-gerik mereka. Kecewa, karena apa yang pernah berlangsung menyenangkan dulunya, kini tidak lagi. Ini pendapat pribadi saya tentang teman-teman saya, yang satu sibuk mengeluhkan dan marah-marah tentang kebersihan yang kurang dan benda-benda inventaris sekolah yang hilang sembari menuduh si ini dan si itu. Satunya lagi guru yang tadinya rajin karena sering bersilang pendapat dengan kepala sekolah, jadinya malas ke sekolah. Satunya lagi sibuk dengan urusan administrasi sekolah dan terkesan tidak tulus. Dan yang lainnya ada yang dua orang punya hubungan keluarga yang sama-sama sok perfeksionis, ada pula yang pelitnya minta ampun (masa’ saya disuruh beli sesuatu yang harganya 7ribu rupiah, saya dikasi uang 5ribu rupiah. Eh, minta kembaliannya 3ribu pula), dan parahnya lagi kepala sekolah yang jarang muncul di sekolah. Tidak nyaman, namun ini demi tanggung jawab dan rupiah.

Pada saat semester akhir, di tahun 2008, saya merasa mempunyai cukup banyak waktu luang. Rugi rasanya bila saya menyia-nyiakan begitu banyak waktu  yang seharusnya saya isi dengan sesuatu yang bermanfaat. Kegiatan saya saat itu, hanyalah sekedar ke kampus untuk berkonsultasi dengan dosen, mengajar di pesantren dua kali seminggu, hang out ke mall, dan sisanya melakukan pekerjaan rumah dan bersantai.  Dan tiba-tiba seorang teman menghubungi saya untuk mengajukan lamaran di tempatnya mengajar. Dan Alhamdulillah saya diterima di tempat kursus tersebut. Mulailah hari-hariku menjadi semakin sibuk. Saya pun tidak pernah menyangka bahwa kami hanya libur di hari minggu dan harus pulang di malam hari. Meski tidak punya jadwal harus tetap stand by di sana. Di awal- awal sempat merasa tidak nyaman karena salah seorang rekan kerja saya terkesan terlalu memojokkan dan meremehkan kinerja saya. Beberapa orang siswa yang belum mengenal saya dengan baik langsung menjudge bahwa saya tidak baik. Ingin rasanya mangkir, namun kontrak kerja baru saja di tanda tangani. Harus pasrah terima nasib. Tadinya saya sering tidur siang, semenjak mengajar di Oxford tidak pernah ada waktu untuk itu. Saya pun semakin jarang mengikuti acara-acara keluarga. Alasannya, saya kelelahan, pagi ngajar di sekolah, siang sampai malam ngajar di Oxford. Masih teringat betapa kakunya sistem yang berjalan. Tidak boleh telat, tidak boleh cepat pulang. Tidak boleh tidak masuk kantor kecuali bila sakit (sakit yang benar-benar sakit). Namun sekarang keadaan berbalik. Orang yang tadinya sering memojokkanku sekarang justru membutuhkanku sebagai tempat curhatnya. Dan tidak ada lagi karyawan tetap yang laki-laki. Semua wanita, masih single dan muda. Tidak perlu ragu untuk mengeluarkan pendapat. Bergosip, bercanda dan tertawa bersama merilekskan suasana. Bila ngantuk bisa tidur siang atau berbaring sejenak. Rejeki berupa kiriman makanan dari siswa, orang tua siswa, ataupun traktiran terus mengalir. Alhamdulillah….sejauh ini saya merasa nyaman. Semoga keceriaan terus menerus berlangsung. Amin ya Rabb.

Di pesantren harus bisa jaga imej karena tidak semua santri merupakan santri yang fine. Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang akhlaknya kurang baik. Sebisa mungkin memberi contoh yang baik bagi mereka. Sementara Oxford adalah tempat yang flexible. Hubungan antara guru dan siswa cukup easy going. Apapun itu, Oxford dan Pesantren adalah tempat yang  berbeda. Keduanya tak bisa disamakan. Namun, keduanya tetap istimewa.