Showing posts with label Literature. Show all posts
Showing posts with label Literature. Show all posts

Sunday, November 27, 2011

The Kite Runner Story




check the movie trailer

Finally, I’ve watched the movie after the book made me cry so much a year ago.
This is The Kite Runner…..

Well, cerita diawali oleh kisah persahabatan antara Amir dan Hasan. Amir adalah putra seorang pengusaha kaya yang terhormat, ibunya telah meninggal pada saat melahirkannya. Sedangkan Hasan adalah anak seorang pelayan di rumah Amir. Ali, ayah Hasan adalah pelayan setia yang telah mengabdi selama puluhan tahun di rumah tersebut. Begitu pun dengan Hasan yang selalu mendampingi ke mana pun Amir pergi. Setiap hari, sebelum berangkat sekolah, Hasan telah menyiapkan segala perlengkapan sekolah dan  sarapan untuk Amir.  Mereka berdua tak jarang menghabiskan waktu di bawah pohon delima sembari Amir membacakan buku cerita untuk Hasan. Hasan sangat terpukau dengan cerita-cerita yang dibacakan oleh Amir terutama cerita tentang ‘Rostam dan Sohrab’. Ketenangan mereka selalu terganggu oleh kehadiran Assef dan kawan-kawannya yang selalu mengejek Amir yang telah menampung seorang Hazara seperti Hasan. Pada waktu itu, suku Hazara dipandang sebagai kaum yang hina karena fisik mereka yang berbeda dengan orang Afganistan pada umumnya.  Hasan tak peduli meskipun orang-orang seringkai menghina keluarganya, ia pun tak segan melawan Assef. Sangat berbeda dengan Amir yang terkesan pengecut. 

Baba atau Ayah Amir memiliki seorang sahabat bernama Rahim Khan. Dia adalah seorang pria yang bijak yang selalu bersedia mendengar keluh kesah Amir. Ia bahkan sangat mendukung bakat menulis yang dimiliki oleh Amir. Suatu hari di musim dingin, seperti biasanya di kota Kabul diadakan turnamen layang-layang dan Amir berhasil menjadi pemenang setelah berhasil mengalahkan belasan layang-layang lainnya. Setelah berhasil memenangkan turnamen, Amir pun menerima pujian dari Babanya dan Rahim Khan, sementara Hasan berlari mengejar layang-layang biru Amir dan berjanji akan membawanya kembali untuk Amir. Sayang sekali, setelah berhasil mendapatkan layang-layang Amir, Hasan dikepung oleh Assef dan kawan-kawannya.  Assef mengancam Hasan agar menyerahkan layang-layang tersebut kepadanya, namun Hasan tidak bersedia karena ia telah berjanji kepada Amir.  Akhirnya Hasan pun dihajar habis-habisan oleh mereka dan parahnya lagi mereka melecehkan Hasan dengan perbuatan yang tidak bermoral. Amir sebenarnya menyaksikan kejadian tersebut dibalik dinding, namun ia tidak punya sedikitpun keberanian untuk menolong Hasan yang telah membelanya mati-matian. 

Setelah kejadian tersebut, pikiran Amir menjadi tidak tenang, setiap kali ia melihat wajah Hasan ia selalu teringat kejadian tersebut. Ia merasa bersalah, namun enggan untuk menceritakannya kepada siapa pun. Ia berubah menjadi membenci Hasan meskipun Hasan tetap bersikap baik dan patuh padanya. Ia pun mengatur siasat agar Hasan diusir dari rumahnya. Ia meletakkan jam tangan dan uang di bawah kasur Hasan dan menuduhnya telah mencuri. Baba sebenarnya tidak mempercayai bahwa Hasan telah mencuri, namun Hasan mengakui bahwa ia memang telah mencuri. Ali terpaksa berkemas dan membawa Hasan pergi. Meskipun dengan sangat berat hati, Baba melepas kepergian mereka dengan linangan air mata. Amir tetap tak menampakkan rasa bersalahnya kepada Hasan, ia hanya mengintip dari jendela kamarnya dan melihat Hasan yang tertunduk lemas pergi meninggalkan rumah dimana ia menghabiskan masa kecilnya.

Beberapa tahun setelah kepergian Hasan, Amir dan Babanya meninggalkan Kota Kabul yang telah terancam oleh kehadiran Partai komunis. Mereka mengungsi selama beberapa waktu di Peshawar, Pakistan, selanjutnya mereka pindah ke Amerika.  Di sana mereka berdua memulai hidup dari nol. Babanya yang terbiasa dengan kemewahan, terpaksa harus bekerja keras banting tulang demi menyekolahkan Amir. Hingga akhirnya Amir berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Tak lama setelah itu, Amir bertemu dengan gadis cantik bernama Soraya yang juga keturunan Afganistan. Mereka pun menikah dan menjalani hidup bahagia. Pada saat itu kesehatan Babanya mulai sering terganggu dan pada akhirnya ia pun meninggal dunia. Amir sukses menjadi seorang penulis seperti yang dicita-citakannya, namun ia belum juga dikarunia seorang anak. 

Pada suatu hari, Amir mendapat telepon tak terduga dari seorang teman lama yaitu Rahim Khan. Setelah pembicaraan lewat telepon, ia kembali teringat peristiwa dua puluh tahun lalu. Rahim Khan berkata, ada jalan untuk kembali menuju kebaikan. Setelah lama berpikir, Amir pun memutuskan untuk menemui Rahim Khan yang telah sekarat di Peshawar. Ketika mereka bertemu, Amir melihat Rahim Khan tampak sangat jauh berbeda dari yang dulu ia kenal. Kini Rahim Khan yang telah sekarat tinggal berbalut tulang. Rahim Khan menceritakan segalanya, tentang Hasan tentang masa lalunya. Rahim memperlihatkan foto Hasan bersama anak laki-lakinya yang diberi nama Sohrab (tokoh cerita kesukaannya yang sering dibacakan oleh Amir). Ia pernah bertemu dengan Hasan, namun Hasan kini telah tiada dan putranya Sohrab berada di sebuah panti asuhan di Kabul. Rahim meminta Amir untuk mencari Sohrab. Namun, Amir menolak untuk mengambil resiko kembali ke Afganistan. Ia tidak ingin membahayakan dirinya sendiri mengingat istrinya yang ia tinggal seorang diri di Amerika. 

Rahim khan pun mengemukakan alasan mengapa ia harus menolong anak Hasan. Karena Hasan merupakan saudara seayah dengannya. Dulu Babanya telah tergoda dengan kecantikan istri pelayannya sendiri hingga ia hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Setelah melahirkan Hasan, ibunya pergi meninggalkannya entah ke mana. Dan Ali lah yang telah membesarkannya dengan kasih sayang. Amir tidak bisa menerima kenyataan bahwa Babanya telah membohonginya hingga akhir hidupnya. Ia pun teringat mengapa Babanya begitu menyayangi Hasan dan begitu bersedih ketika Hasan pergi dari rumahnya.  

Petualangan Amir pun dimulai dari satu panti asuhan ke panti asuhan lainnya demi menemukan Sohrab. Ia menembus berbagai bahaya dan rintangan di tengah berkecamuknya suasana di Afganistan. Hingga pada akhirnya ia mendapat informasi bahwa Sohrab telah diambil oleh anggota Taliban. Ia memberanikan diri untuk bertemu dengan anggota Taliban. Rupanya ia mengenali alah satu dari mereka. Ia adalah orang yang telah menghancurkan persahabatannya dengan Hasan. Meskipun dengan cambang, janggut dan sorbangnya, Amir masih mengingat wajah menyeringai Assef. Amir berjuang dengan sekuat tenaga melawan Assef. Meskipun wajahnya telah dibenturkan ke kaca hingga berdarah-darah dan mendapatkan pukulan serta tendangan, ia tidak merasa kesakitan sedikitpun. Ia berjuang menghapus rasa bersalah terhadap saudaranya. Dan akhirnya ia berhasil membawa kabur Sohrab dari tempat tersebut.

Amir membawa serta Sohrab ke Amerika dan menceritakan segala kejadian yang dialaminya kepada istrinya. Soraya bersedia mengadopsi Sohrab. Namun, sejak pertama kali bertemu dengan Amir, tak sepatah kata pun keluar dari bibir Sohrab. Meski demikian, Amir telah berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiankan Sohrab. Hingga pada suatu hari, di sebuah taman, Sohrab melihat sebuah layang-layang. Ia berlari mengejar layang-layang tersebut dan tersenyum…..

Kisah tentang pengabdian dan kehidupan Hasan begitu memilukan. Saya teringat dengan kata-kata Hasan kepada Amir dalam buku ini, "aku akan makan tanah jika kau menyuruhku." Houhhh.....di dunia ini apakah ada seorang teman yang seperti itu?

Tidak pernah bosan membaca bukunya, hingga membuat saya menangis bagai mengiris bawang bombai….

Saturday, November 5, 2011

A Thousand Splendid Suns


Kisah perjuangan dan pengorbanan dua wanita yang menyayat hati….
 


Setelah novel pertamanya The Kite Runner, kini Khaled Hosseini mengaduk-aduk emosi dan perasaan saya lewat novel keduanya yang berjudul A Thousand Splendid Suns. Novel yang versi originalnya diterbitkan oleh Qanita dan versi Bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Mizan, merupakan novel yang spektakuler, menyentuh hati, memberi inspirasi tentang patriotisme dan pengorbanan serta membawa imajinasi terbang ke Afganistan. Novel setebal 620 halaman ini membuat saya tak ingin berhenti untuk membacanya. 

Buku ini sangat layak untuk dibaca dengan narasi yang jelas dan deskripsi tokoh yang begitu detail, kuat, dan jelas. Berkisah tentang dua orang wanita yang berasal dari tempat yang berbeda, tidak saling mengenal, kemudian bertemu, saling membenci, hingga akhirnya berubah menjadi saling menyayangi dan berbuah pengorbanan besar. Berlatar belakang di Afganistan, negeri yang beberapa dekade terakhir dilanda peperangan dan kekacauan yang dibaliknya terdapat kisah cinta, kehidupan yang memilukan, dan kisah tragis korban penyerangan yang membabi buta.

Mariam adalah seorang harami, buah percintaan terlarang antara Jalil seorang pengusaha kaya di daerah Herat dengan salah seorang pelayan rumahnya. Mariam dibesarkan oleh ibunya yang dipanggilnya Nana. Mereka tinggal di dalam sebuah kolba berukuran kecil di tengah hutan yang dibangun oleh Jalil untuk mengungsikan mereka berdua dari ketiga istri dan anak-anak Jalil. Mariam seringkali bersedih ketika ibunya memperlakukannya secara kasar, meski hati kecilnya berkata Nana sangatlah menyayanginya. Kedatangan Jalil setiap hari Kamis menjadi pelipur lara baginya. Hanya dengan berjalan-jalan di sekitar hutan atau duduk-duduk sambil bercerita bersama Jalil sudah membuatnya begitu bahagia. Mariam sangat menyayangi ayahnya, sebaliknya Nana justru begitu membenci Jalil. Begitu Jalil pergi meninggalkan mereka di kolba, ia akan berteriak mengumpat Jalil dan keluarganya. Nana pernah mengancam Mariam, jika Mariam pergi meninggalkannya seorang diri, maka ia akan bunuh diri.

Suatu hari Mariam sangat ingin pergi bersama Jalil ke bioskop untuk menonton film Pinokio. Ia menunggu Jalil sepanjang hari, namun ia tak kunjung datang. Hingga akhirnya ia nekat pergi ke rumah Jalil yang jauh di kota dan belum pernah ia datangi. Ia begitu berharap bertemu dengan ayahnya, akan tetapi ia justru tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah ayahnya. Ia menunggu sepanjang hari di depan gerbang, hingga hari berganti pagi. Namun Jalil tak jua muncul dari dalam rumah untuk menemuinya. Perasaan kecewa, sedih, dan menyesal bercampur aduk menjadi satu dalam benak Mariam. Begitu ia kembali ke rumahnya, ia mendapati ibunya telah gantung diri di hutan.

Setelah kematian ibunya, Jalil datang menjemputnya. Sejumput harapan tumbuh dalam hati Mariam. Setelah sekian lama, akhirnya ayahnya mengajaknya untuk tinggal bersama di rumahnya yang indah dan megah. Selama beberapa hari di rumah tersebut, Mariam justru merasa tidak nyaman dan merasa sedih berada di tengah-tengah istri-istri dan anak-anak Jalil. Sebuah berita yang membuatnya semakin terpukul adalah keputusan Jalil (berkat desakan istri-istrinya) untuk menikahkannya dengan seorang pengusaha dari Kota Kabul. Di usianya yang masih 15 tahun, Mariam dinikahkan dengan seorang pria jangkung berperut buncit dan berusia 45 tahun.  Setelah selesai akad nikah, Mariam harus ikut mendampingi suaminya tinggal di Kabul.

Rasheed, suami Mariam adalah seorang duda yang istrinya telah meninggal dunia, dan beberapa tahun sebelumnya anak laki-lakinya mati tenggelam di danau. Rasheed ternyata bukanlah seorang pria yang penyayang, tetapi kasar. Mariam harus menuruti setiap perkataannya, bila tidak, ia akan dipukuli. Pada kehamilan pertama Mariam, Rasheed begitu memperhatikannya dan menjaganya, namun Mariam akhirnya keguguran. Rasheed kembali bersikap kasar kepada Mariam. Pada kehamilan Mariam yang kedua kalinya, Rasheed kembali bersikap penuh perhatian dan berharap bisa mendapatkan seorang anak lelaki. Akan tetapi, lagi-lagi Mariam keguguran dan Rasheed menjadi seperti semula.

Laila adalah seorang anak yang periang dan pandai. Ia adalah tetangga Rasheed. Pada saat Mariam baru saja pindah ke kota Kabul, Laila baru berusia 6 tahun. Laila adalah gadis yang sangat cantik, memiliki rambut panjang keriting dan pirang, dengan alis tebal serta bibir semerah delima. Mammynya adalah seorang wanita yang suka mengoceh, sedangkan ayahnya yang ia sebut babi adalah seorang guru yang sabar dan penuh pengertian. Dua kakak laki-lakinya, Ahmad dan Noor, pergi ikut berjuang melawan Soviet.

Laila mempunyai seorang teman dekat bernama Tariq. Rumah Tariq bersebelahan dengan rumahnya. Kemana pun Laila pergi, Tariq selalu menyertainya. Mereka berangkat ke sekolah bersama dan bermain bersama. Tariq adalah seorang yang pemberani meski sebelah kakinya menggunakan kaki palsu dan berjalan agak terpincang. Ia selalu melindungi Laila dari gangguan anak-anak lelaki yang seringkali mengejek dan melecehkan Laila.

Suatu hari berita buruk menghampiri keluarga Laila. Kedua kakak laki-lakinya tewas dalam peperangan. Hal ini membuat mammynya begitu bersedih. Keceriaan yang selalu dimilikinya hilang begitu saja, ia mengurung diri selama berbulan-bulan lamanya di dalam kamar. Penyakit ringan mulai menyerangnya. Laila pun terpaksa mengambil alih seluruh pekerjaan rumah tangga. Peperangan telah membuat hidup warga Afganistan dipenuhi rasa takut dan cemas yang berkepanjangan, entah siapa yang akan tewas berikutnya. Pembunuhan, pengeboman, dan penjarahan terjadi setiap harinya. Pada suatu hari setelah Najibullah menyerah, entah mengapa, mammy Laila kembali seperti sedia kala bersemangat dan ceria.

Seiring berjalannya waktu, rupanya kebersamaan telah menumbuhkan benih-benih asmara antara Laila dan Tariq. Bahkan suatu waktu, Tariq pernah berkata kepada Laila ia rela membunuh demi Laila. Tariq yang telah tumbuh menjadi pemuda berusia 16 tahun telah membuat Laila tiada henti memikirkannya. Pada saat pertikaian terjadi di antara berbagai fraksi Mujahiddin, kekacauan menjadi semakin parah, banyak keluarga yang telah berkemas meninggalkan Afganistan dan mengungsi di Pakistan dan Iran. Salah satu diantara mereka yang memutuskan untuk pergi adalah keluarga Tariq. Laila merasa sangat terpukul begitu mendengar kabar tersebut dari mulut Tariq sendiri. Dan dalam keadaan sedih, kecewa, dan putus asa terjadilah percintaan yang terlarang di antara mereka. Tariq ingin mengajaknya pergi bersama dan bersedia menikahinya. Akan tetapi, Laila tak mungkin bisa meninggalkan babi dan mammynya di Afaganistan. Beberapa minggu setelah kepergian Tariq, keluarga Laila pun memutuskan untuk pergi meninggalkan Afganistan. Namun, sesaat sebelum mereka pergi, bom telah menghujam rumah mereka. Babi dan mammynya meninggal, sementara ia ditemukan terhimpit dan terluka di balik reruntuhan tembok.

Mariam dan Laila ….
Rasheedlah yang telah menemukan dan menolong Laila dari reruntuhan dinding. Rasheed membawa Laila untuk dirawat dan diobati di rumahnya.  Di tengah duka yang mendalam, datang pula seorang pria yang mengaku pernah bertemu Tariq di pengungsian dan rumah sakit. Ia bercerita bahwa truk yang di tumpangi tariq dan keluarganya di bom. Ayah dan Ibu Tariq tewas seketika, sedangkan Tariq telah kehilangan satu lagi kakinya dan beberapa hari setelah dirawat di rumah sakit ia meninggal dunia. Laila semakin bersedih dan kehilangan harapan untuk dapat bertemu kembali dengan Tariq.

Selama ini Rasheed menolong Laila karena ia mempunyai maksud tertentu. Ia ingin menikahi Laila yang kala itu masih berusia 14 tahun. Mariam yang sebenarnya sangat tidak setuju, tak kuasa menentang keinginan suaminya. Setelah dua bulan berselang, Laila menyadari dirinya sedang hamil, mengandung buah cintanya bersama Tariq. Mau tidak mau, ia segera bersedia untuk menikah dengan Rasheed demi membesarkan satu-satunya peninggalan Tariq, kekasihnya. Laila mendapatkan perhatian yang sangat berlebihan dari Rasheed, membuat Mariam menjadi benci dan kesal kepadanya. Laila melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik, berkulit putih, berambut pirang, dan bermata hijau yang diberi nama Aziza. Laila sangat menyayangi putrinya. Akan tetapi, Rasheed justru tidak menyukai bayi tersebut.

Dalam kehidupan rumah tangganya Laila lebih berani menentang Rasheed, sedangkan Mariam tetap menjadi istri yang patuh. Tak jarang bila Rasheed kesal kepada Laila, Mariamlah yang menjadi sasarannya. Mariam semakin membenci Laila. Terkadang Laila ingin  berbagi cerita dengan Mariam, namun Mariam selalu mencemooh dirinya. Laila dan Mariam hampir setiap hari bertengkar ketika Rasheed sedang ke luar untuk bekerja di toko. Aziza yang tumbuh menjadi bayi yang lucu dan menggemaskan membuat rasa benci Mariam semakin hari semakin luntur. Mariam sering mengajak Aziza bermain bersamanya sehingga ia dan Laila menjadi lebih sering berbagi cerita.

Lama-kelamaan persahabatan antara Mariam dan Laila tumbuh menjadi rasa saling menyayangi. Mereka yang tidak tahan akan sikap dan kelakuan kasar Rasheed, merencanakan untuk kabur ke Pakistan. Pada saat Rasheed keluar rumah untuk bekerja, mereka menjalankan rencana mereka. Dengan mengendarai taksi mereka tiba di perbatasan. Pada waktu itu, semua  wanita di larang keluar rumah tanpa didampingi oleh muhrim. Mereka pun meminta tolong kepada orang yang salah dan membuat mereka diinterogasi serta dipulangkan ke rumah. Rasheed yang mengetahui  bahwa kedua istrinya telah berusaha kabur, amat sangat geram. Ia mengurung Laila dan aziza di dalam kamar yang ditutupi oleh papan hingga tak tampak cahaya sedikit pun. Mereka berdua dikurung sehari semalam hingga mereka merasa kepanasan dan kehausan. Bahkan Aziza sempat tak sadarkan diri. Sementara di luar, Mariam disiksa, ditendang, dijambak dan dipukuli dengan sabuk pinggang Rasheed.

Masa-masa Taliban berkuasa, begitu banyak aturan yang berlakukan di negeri Afganistan. Wanita-wanita diwajibkan memakai burqa ketika ke luar rumah, dilarang memakai perhiasan, dilarang tertawa didepan umum, semua anak perempuan dilarang bersekolah, dilarang bernyanyi, dilarang menonton film dan televisi, dan sebagainya. Apabila ada yang melanggar, maka hukuman ringan sampai hukuman berat akan diterimanya. Keadaan di Kabul semakin parah, semakin banyak pembantaian yang terjadi dan keperluan sehari-hari semakin sulit didapatkan. Akibatnya usaha toko sepatu Rasheed pun bangkrut. Ia terpaksa mencari pekerjaan lain.

Pada saat Aziza menginjak usia 4 tahun, Laila melahirkan anak keduanya, putranya dari Rasheed. Zalmai sangat mirip dengan ayahnya bertubuh gemuk, berambut keriting dan bermata coklat. Kekhawatiran bahwa ia tidak akan mencintai anak Rasheed seperti ia mencintai anak Tariq, tidak terjadi. Laila menyayangi Zalmai sama seperti Aziza. Hanya saja Zalmai lebih sayang dan penurut kepada ayahnya.

Karena aturan yang dibuat penguasa Taliban, Laila terpaksa menyekolahkan Aziza secara sembunyi-sembunyi di sebuah panti asuhan milik seoarang pria baik hati bernama Zaman. Setiap hari Laila mengunjungi Aziza di sekolahnya, Rasheed mengantarnya sebelum ia berangkat kerja. Hingga tibalah pada suatu hari, Laila bertemu dengan seseorang dari masa lalunya yang selama ini ia rindukan. Ia pun bergegas mendekati dan memeluknya. Ternyata Tariq masih hidup! Laila dan Mariam pun mengajaknya ke rumah mereka sementara Rasheed sedang tidak di rumah. Laila dan Tariq kemudian saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka selama berpisah. Tariq begitu terkejut dan senang setelah mengetahui bahwa ia mempunyai seorang putri cantik yang bernama Aziza. Pria yang dulunya menemui Laila dan membawa kabar tentang meninggalnya Tariq ternyata adalah orang yang disewa oleh Rasheed untuk berpura-pura telah bertemu dengan Tariq.

Ketegangan terjadi pada saat makan malam, Zalmai mengadu pada Rasheed bahwa ibunya telah bertemu dengan seorang pria berkaki pincang dan ia membawa lelaki tersebut ke rumahnya. Dengan penuh rasa amarah, Rasheed menyerang Laila, memukul dan menendangnya. Namun, Laila membalasnya dengan satu pukulan keras. Rasheed tak berkutik dan berhenti. Laila menyangka dirinya telah berhasil memenangkan pertarungan. Namun, ternyata Rasheed melanjutkan pukulannya, pukulan yang jauh lebih keras kepada Laila. Mariam yang bermaksud menolong justru menjadi sasaran Rasheed yang selanjutnya. Pergulatan diantara mereka berlangsung lama hingga pada saat Rasheed mencekik leher Laila dan nyaris membunuhnya, Mariam mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya, hal yang baru pertama kali ia lakukan, ia menyerang Rasheed dengan  ujung sekop yang tajam.

Mariam menyuruh Laila membawa anak-anaknya pergi bersama tariq, sementara ia menyerahkan diri ke kantor polisi. Di dalam penjara, ia merasa dirinya kembali tinggal di kolba, tempat tinggal masa kecilnya. Semua orang di dalam sel menyukainya, meskipun ia merupakan satu-satunya tahanan pembunuh. Ia telah mengaku bersalah di depan pengadilan, dan akhirnya dijatuhi hukuman mati di depan ribuan orang yang memadati kota.

Setelah menikah, Laila dan Tariq hidup berbahagia bersama anak-anakntya di Muree, Pakistan. Namun, setelah beberapa lama hidup dalam kenyamanan. Laila sering bermimpi tentang kota Kabul. Ia ingin kembali ke Kabul dan Tariq menyetujuinya. Mereka berangkat ke Kabul. Tariq manjaga anak-anaknya di hotel, sementara Laila berangkat ke Herat, kampung halaman Mariam. Di sana ia mengunjungi rumah kolba Mariam yang telah tak berpenghuni. Bayangan tentang Mariam, tentang cerita masa kecil Mariam tiba-tiba muncul begitu jelas dalam ingatan Laila. Putra Mullah Faizullah, guru mengaji Mariam ketika masih kecil, menyerahkan sebuah kotak yang ditujukan untuk Mariam dari ayahnya Jalil beberapa saat sebelum ia meninggal. Kotak tersebut dititipkan Jalil kepada Mullah Faizullah, namun sampai Mullah Faizullah meninggal dunia Mariam tak kunjung datang hingga ia serahkan kepada putranya, Hamzah. Mariam pun kini telah tiada, sehingga kotak tersebut diserahkan kepada Laila. Kotak tersebut berisi sepucuk surat, sebuah karung berisi uang, dan sebuah kaset Film Pinokio, film yang sangat ingin Mariam tonton bersama ayahnya di bioskop semasa kecilnya.

Hal yang paling menyentuh dalam buku ini adalah kehidupan orang-orang di Afganistan yang tiada henti dicekam rasa cemas dan ketakutan akan kehilangan orang-orang yang dicintai. Dan yang membuatku berurai air mata hingga berderai-derai dan terisak-isak adalah kehidupan semasa kecil Mariam yang kurang kasih sayang, membayangkan dirinya yang hanya tinggal berdua dengan ibunya di tengah hutan di dalam sebuah kolba berukuran kecil, bermain seorang diri, tiada teman untuk berbagi. Mariam tumbuh dewasa dan menjadi seorang istri yang penuh pengorbanan dan pengabdian, namun tak pernah sedikitpun dihargai. Hingga di penghujung  hidupnya pun ia tetap berkorban demi orang yang dicintai dan disayanginya. Dan juga hal yang sangat menyesakkan dada adalah perpisahan antara Laila dan Tariq, menyisakan perasaan rindu berkepanjangan yang dirasakan Laila kepada Tariq, serta kematian orang tua Laila akibat penyerangan bom yang meluluh lantakkan segala impian dan harapannya. Ya, kehilangan adalah hal yang paling menyakitkan dan mungkin akan sulit terobati.

                                                                                             Riyuni Mark
                                                                                                   ^_^

Monday, July 18, 2011

KONTROVERSI DAN TRANSFORMASI BUDAYA DALAM DRAMA

Ø  BUDAYA DALAM ERA GLOBALISASI
Dunia dewasa ini telah dilanda gelombang globalisasi, yaitu perubahan masyarakat dengan lingkungan dunia yang bersifat imanen, maksudnya alami dan universal sehingga globalisasi sulit untuk di bendung. Karena globalisasi berarti daya dorong yang amat dasyat agar seluruh dunia menjadi satu (John Naiabitt, 1992: 2). Sebagai akibatnya, terjadilah beberapa perubahan yang fundamental dan revolusioner dalam berbagai bidang. Salah satu diantaranya timbulnya keresahan dan kegelisahan di negara kita tentang nasib kebudayaan bangsa, akibat derasnya arus kebudayaan asing, banyak kebudayaan daerah, kesenian tradisional, bahasa daerah, adat istiadat secara tragis mulai tergeser dari kancah dunia. Hal ini tentu saja juga membawa dampak bagi perkembangan dunia pentas atau drama.
Bangsa indonesia dalam mengantisipasi pengaruh negatif dari globalisasi tersebut tetap berpegang pada strategi memfilter dan adaptasi; yakni mesti luwes, pandai dan waspada dalam menghadapi arus kebudayaan asing, tanpa rasa minder budaya serta tanpa bombasme nasionalisme budaya. Maka dari itu, tanpa pembinaan, pengembangan dan mengaktualisasi nilai-nilai tradisi dan budaya daerah secara kritis, kreatif serta inovatif sesuai dengan kemajuan tekhnologi, bangsa kita akan selalu diombang-ambingkan dan dipermainkan oleh budaya asing, hanya mengacu serta terlena budaya Barat yang belum tentu sesuai dengan pribadi bangsa kita.
Ø  KONTROVERSI DAN TRANSFORMASI BUDAYA DALAM DRAMA
Perkembangan tekhnologi informasi saat ini, semakin memudahkan masyarakat  Indonesia dalam mengakses berbagai media yang lebih banyak mengandung budaya modern. Salah satu contohnya adalah tayangan Televisi yang belakangan ini banyak menghadirkan sinetron-sinetron atau sinema-sinema yang lebih mengutamakan nilai komersil dibandingkan nilai moralnya. Para pelakonnya tanpa rasa malu berpenampilan serupa dengan orang-orang berbudaya barat, mengekspos seksualitas, serta meniru-niru gaya hidup yang hedonisme. Hal ini juga tak terlepas dari skenario yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian penonton dan peran sutradara yang kebanyakan telah terkontaminasi oleh budaya-budaya luar/modern.  Para penonton juga amat menentukan bagaimana budaya luar dapat mempengaruhi budaya dalam negeri. Dalam hal ini penonton diberikan pilihan antara tayangan yang layak ditonton dan yang tak layak ditonton. 
Akulturasi budaya yang berdampak negatif ini telah banyak menuai kontroversi dari kalangan masyarakat yang masih memegang teguh budaya timur. Mereka menganggap tontonan semacam itu tak ubahnya sampah yang tak bermanfaat dan justru dapat menimbulkan bau busuk. Budaya yang diperlihatkan bukanlah budaya lokal, melainkan budaya modern seolah- olah menggambarkan masyarakat indonesia hidup dalam kemakmuran, padahal kenyataannya masih sangat banyak masyarakat indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa tontonan yang bersifat tidak mendidik tersebut sebaiknya dihentikan.
Sedikit berbeda dengan pertunjukan drama atau teater yang lebih menitik beratkan pada unsur seni. Drama adalah refleksi dari kehidupan manusia yang direfleksikan di atas panggung secara elegan tanpa dilebih-lebihkan. Namun, seiring dengan perubahan zaman, mau tak mau drama harus berhadapan dengan akulturasi budaya Barat. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, para pelakon harus bisa mengeksplorasi setiap bagian dari drama tanpa harus menimbulkan persepsi yang negatif  pada penonton.  Namun , banyak juga pelaku pertunjukan drama yang bersikap acuh tak acuh dalam mempertahankan budaya lokal.
Tak sedikit pula masyarakat yang pro terhadap adanya akulturasi budaya dalam drama. Mereka menganggap bahwa dengan adanya variasi budaya dalam pertunjukan drama, pemain dapat dengan leluasa bereksplorasi sehingga unsur estetiknya akan lebih terlihat. .Mereka justru percaya pada efek-efek positif  yang dapat dihasilkan oleh percampuran budaya tersebut. Diantaranya dapat memperkaya bangsa tentang pengetahuan budaya-budaya luar, iptek dapat lebih berkembang di negara indonesia serta dapat memacu semangat untuk maju seperti halnya dengan negara-negara barat.
Ø  BENTUK KONTROVERSI BUDAYA DALAM TEATER/FILM
Memoirs of the Geisha yang difilmkan mencetuskan berbagai kontroversi dan bantahan terutama di Jepang dan Cina. Kedua negara mengharamkan tayangannya. Jepang mengharamkannya karena institusi Geisha yang dianggap tidak senonoh dilakonkan sedemikian rupa oleh wanita Cina. Cina menentangnya karena tidak sanggup melihat pelakon cina memegang watak sebagai gadis Geisha. Begitu hebatnya sentimen terhadap budaya yanh telah dipusakakan sejak turun temurun. Hal ini membuktikan bahwa bukan hanya budaya luar/barat yang menjadi kontroversi, tetapi budaya lokalpun bisa dipertentangkan apabila tak sesuai dengan kaidah-kaidah moral.
Sensitive yang demikian tidak pernah berlaku dan tidak akan mungkin berlaku di negara kita. Kita tidak mempunyai sentimen yang kuat terhadap epik atau legenda bangsa. Maka kita tidak pernah membantah walaupun legenda-legenda tersebut dipentaskan atau difilmkan seperti apapun.  Misalnya, sejak turun temurun Hang Tuah adalah simbol keperwiraan melayu. Kita telah mengenal wataknya sebagai pahlawan yang amat setia dan sanggup berkorban apa saja karena raja. Dia sanggup menepikan cintanya terhadap Tun Teja karena kehendak Sultan lebih utama. Hang Tuah dihukum mati karena dikatakan telah berhubungan dengan dayang istana. Kita percaya bahwa itu adalah fitnah semata-mata karena Hang tuah tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan peraturan istana. Hidup dan matinya adalah untuk raja dan Malaka. Tetapi, apabila Hang Tuah dipotretkan sebagai watak yang sanggup bersaing degan rajanya untuk memadu kasih dengan seorang perempuan, kita tahu itu bertentangan dengan Hang Tuah yang kita kenal. Namun, begitu kita tidak pernah peduli.  

Monday, December 27, 2010

Kritik Sastra (Literary Criticism)


TIPE-TIPE KRITIK SASTRA BERDASARKAN PENDEKATAN TERHADAP KARYA SASTRANYA
Kritik sastra dapat dibagi atas beberapa jenis. Penjelasan ini didasarkan pada pendekatan yang digunakan, bentuk, dan pelaksanaan kritik tersebut. Oleh karena itu, jenis-jenis kritik sastra dapat dilihat berdasarkan pendekatan atau metode kritik, berdasarkan pendekatan terhadap karya sastra, berdasarkan bentuknya, dan berdasarkan tipe sejarah sastra dan kritik sastra. Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, kritik sastra dapat digolongkan atas empat jenis sebagai berikut:
a)      Kritik mimetik
Kritik mimetik (mimetic criticism), yaitu kritik yang bertolak pada pandangan bahwa karya sastra merupakan suatu tiruan atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Kritik ini lahir pada abad ke empat belas sebelum masehi, diawali oleh kritik yang dilontarkan oleh Plato dan Aristoteles terhadap karya sastra. Menurut pandangan Plato (dalam Luxemburg dkk, 1994) karena karya seni (dan sastra) hanya menyajikan mimesis (tiruan) dari kenyataan, maka nilai karya seni lebih rendah dari kenyataan. Kenyataan sebagai sumber penciptaan memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibanding tiruannya. Beda halnya dengan Aristoteles (dalam Luxemburg dkk, 1984) yang melihat mimesis yang dilakukan para seniman tidak berarti semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Artinya menurut Aristoteles, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, seniman (penyair) menciptakan kembali kenyataan.
Skema berikut menghubungkan karya sastra dengan realitas dalam kritik sastra mimetik.
Realitas: sosial, budaya, politik


Karya sastra

Karena kritik mimetik menghubungkan karya sastra dengan realitas, maka kemudian muncul berbagai anggapan mengenai karya sastra. Karya sastra antara lain dianggapsebagai refleksi atau cermin realitas. Ada kecenderungan pada kritik ini untuk langsung mengembalikan (membandingkan) realitas karya sastra kepada realitas yang faktual (rill), sehingga hakikat karya sastra yang fiktif imajinerseringkali dilupakan. Padahal, sebagaimana dikemukakan Aristoteles, karya sastra berbeda dari sejarah. Oleh sebab itu, kritik sastra mimetik cenderung untuk mengukur kemampuan suatu karya sastra menangkap gambaran kehidupan yang dijadikan sebagai suatu objek.
b)      Kritik pragmatik
Kritik pragmatik (pragmatic criticism), yaitu suatu kritik yang disusun berdasarkan pandangan bahwa suatu karya sastra itu disusun untuk mencapai efek-efek tertentu kepada pembacanya, seperti efek kesenangan, estetika, pendidikan, moral dan sebagainya. Kritik pragmatik ini berkecenderung untuk memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra berdasarkan ukuran keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut. Semakin banyak tujuan yang dicapai berupa nilai, pendidikan, moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra yang berguna bagi pembacanya, makin tinggi nilai karya sastra tersebut.
   Hubungan antara karya sastra dan pembaca tampak pada skema berikut.
                        Karya sastra                                                      pembaca
                       
      Sutan Takdir Alisjahbana (pada masa pujangga baru) mengatakan bahwa karya sastra yang baik haruslah memberikan manfaat bagi masyarakat, yang kemudian dikenal dengan istilah sastra bertendens (Teeuw,1978).
c)      Kritik ekspresif
Kritik ekspresif adalah kritik sastra tang menekankan telaahan kepada kebolehan pengarang dalammengekspresikan atau mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra, khususnya puisi. Dalam hal ini, kritik sastra cenderung untuk menimbang karya sastra dengan memperlihatkan kemmpuan pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara sadar atau tidak, tercermin pada karyanya tersebut.
Skema berikut menggambarkan hubunngan antara karya sastra dengan pengarang selaku pencipta. Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai ekspresi gagasan, ide, pengalaman, ataupun emosi pengarang.
Pengarang:                                                             karya sastra
Ide, gagasan, emosi, pengalaman
 (lahir dan batin)
                       
      Kritik sastra ekspresif muncul pada abad ke 18 dan 19, yaitu pada zaman ketika para pengkritik sastra berusaha menyelami jiwa penyair melalui puisi-puisinya, atau sering diistilahkan dengan zaman romantik (Teeuw, 1984; Pradopo, 1994). Ucapan wordsworth dan John Stuart Mill tentang puisi yag dikutip oleh Teeuw (1984) menunjukkan pandangan kritik ekspresif: “Puisi adalah peluapan spontan dari perasaan yang kuat” atau “puisi adalah perasaan, mengaku diri kepada dirinya pada saat-saat kesunyian....”
      Kelemahan kritik ekspresif adalah adanya kecenderungan untuk mengembalikan (menyamakan) secara langsung realitas yang ada dalam karya sastra dengan realitas yag dialami sastrawan.
d)      Kritik objektif
Kritik objektif adalah kritik sastra yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra adalah struktur yang mandiri. Ia tidak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau duia sekitarnya. Ia harus dilihat sebagai objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri.
Kritik ini sebagai pendekatan intrinsik karena kritik ini difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi dan kebenaran sendiri. Contoh kritik sastra objektif adalah yang dilakukan oleh Pradopo (1995) terhadap puisi Chairil Anwar “Cintaku jauh di pulau”. Ia hanya menfokuskan pada unsur intrinsik puisi, yang antara lain terdiri dari  diksi, bahasa kiasan, citraan, bunyi, dan persajakannya. Padahal, dalam kenyataan tidak semua karya sastra memiliki hubungan secara langsung dengan apa yang dialami oleh sastrawan.