Monday, December 27, 2010

Kritik Sastra (Literary Criticism)


TIPE-TIPE KRITIK SASTRA BERDASARKAN PENDEKATAN TERHADAP KARYA SASTRANYA
Kritik sastra dapat dibagi atas beberapa jenis. Penjelasan ini didasarkan pada pendekatan yang digunakan, bentuk, dan pelaksanaan kritik tersebut. Oleh karena itu, jenis-jenis kritik sastra dapat dilihat berdasarkan pendekatan atau metode kritik, berdasarkan pendekatan terhadap karya sastra, berdasarkan bentuknya, dan berdasarkan tipe sejarah sastra dan kritik sastra. Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, kritik sastra dapat digolongkan atas empat jenis sebagai berikut:
a)      Kritik mimetik
Kritik mimetik (mimetic criticism), yaitu kritik yang bertolak pada pandangan bahwa karya sastra merupakan suatu tiruan atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Kritik ini lahir pada abad ke empat belas sebelum masehi, diawali oleh kritik yang dilontarkan oleh Plato dan Aristoteles terhadap karya sastra. Menurut pandangan Plato (dalam Luxemburg dkk, 1994) karena karya seni (dan sastra) hanya menyajikan mimesis (tiruan) dari kenyataan, maka nilai karya seni lebih rendah dari kenyataan. Kenyataan sebagai sumber penciptaan memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibanding tiruannya. Beda halnya dengan Aristoteles (dalam Luxemburg dkk, 1984) yang melihat mimesis yang dilakukan para seniman tidak berarti semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Artinya menurut Aristoteles, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, seniman (penyair) menciptakan kembali kenyataan.
Skema berikut menghubungkan karya sastra dengan realitas dalam kritik sastra mimetik.
Realitas: sosial, budaya, politik


Karya sastra

Karena kritik mimetik menghubungkan karya sastra dengan realitas, maka kemudian muncul berbagai anggapan mengenai karya sastra. Karya sastra antara lain dianggapsebagai refleksi atau cermin realitas. Ada kecenderungan pada kritik ini untuk langsung mengembalikan (membandingkan) realitas karya sastra kepada realitas yang faktual (rill), sehingga hakikat karya sastra yang fiktif imajinerseringkali dilupakan. Padahal, sebagaimana dikemukakan Aristoteles, karya sastra berbeda dari sejarah. Oleh sebab itu, kritik sastra mimetik cenderung untuk mengukur kemampuan suatu karya sastra menangkap gambaran kehidupan yang dijadikan sebagai suatu objek.
b)      Kritik pragmatik
Kritik pragmatik (pragmatic criticism), yaitu suatu kritik yang disusun berdasarkan pandangan bahwa suatu karya sastra itu disusun untuk mencapai efek-efek tertentu kepada pembacanya, seperti efek kesenangan, estetika, pendidikan, moral dan sebagainya. Kritik pragmatik ini berkecenderung untuk memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra berdasarkan ukuran keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut. Semakin banyak tujuan yang dicapai berupa nilai, pendidikan, moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra yang berguna bagi pembacanya, makin tinggi nilai karya sastra tersebut.
   Hubungan antara karya sastra dan pembaca tampak pada skema berikut.
                        Karya sastra                                                      pembaca
                       
      Sutan Takdir Alisjahbana (pada masa pujangga baru) mengatakan bahwa karya sastra yang baik haruslah memberikan manfaat bagi masyarakat, yang kemudian dikenal dengan istilah sastra bertendens (Teeuw,1978).
c)      Kritik ekspresif
Kritik ekspresif adalah kritik sastra tang menekankan telaahan kepada kebolehan pengarang dalammengekspresikan atau mencurahkan idenya ke dalam wujud sastra, khususnya puisi. Dalam hal ini, kritik sastra cenderung untuk menimbang karya sastra dengan memperlihatkan kemmpuan pencurahan, kesejatian, atau visi penyair yang secara sadar atau tidak, tercermin pada karyanya tersebut.
Skema berikut menggambarkan hubunngan antara karya sastra dengan pengarang selaku pencipta. Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai ekspresi gagasan, ide, pengalaman, ataupun emosi pengarang.
Pengarang:                                                             karya sastra
Ide, gagasan, emosi, pengalaman
 (lahir dan batin)
                       
      Kritik sastra ekspresif muncul pada abad ke 18 dan 19, yaitu pada zaman ketika para pengkritik sastra berusaha menyelami jiwa penyair melalui puisi-puisinya, atau sering diistilahkan dengan zaman romantik (Teeuw, 1984; Pradopo, 1994). Ucapan wordsworth dan John Stuart Mill tentang puisi yag dikutip oleh Teeuw (1984) menunjukkan pandangan kritik ekspresif: “Puisi adalah peluapan spontan dari perasaan yang kuat” atau “puisi adalah perasaan, mengaku diri kepada dirinya pada saat-saat kesunyian....”
      Kelemahan kritik ekspresif adalah adanya kecenderungan untuk mengembalikan (menyamakan) secara langsung realitas yang ada dalam karya sastra dengan realitas yag dialami sastrawan.
d)      Kritik objektif
Kritik objektif adalah kritik sastra yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra adalah struktur yang mandiri. Ia tidak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau duia sekitarnya. Ia harus dilihat sebagai objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri.
Kritik ini sebagai pendekatan intrinsik karena kritik ini difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi dan kebenaran sendiri. Contoh kritik sastra objektif adalah yang dilakukan oleh Pradopo (1995) terhadap puisi Chairil Anwar “Cintaku jauh di pulau”. Ia hanya menfokuskan pada unsur intrinsik puisi, yang antara lain terdiri dari  diksi, bahasa kiasan, citraan, bunyi, dan persajakannya. Padahal, dalam kenyataan tidak semua karya sastra memiliki hubungan secara langsung dengan apa yang dialami oleh sastrawan.

No comments:

Post a Comment