Sunday, August 28, 2011

Muhammadiyah Merayakan Idul Fitri tanggal 30 Agustus 2011


Setiap menjelang lebaran Idul Fitri atau Idul Adha, selalu saja ada ada pertanyaan dikalangan umat Muslim di Indonesia, bulan Ramadhan tahun ini 29 hari atau 30 hari? kita berlebaran bersamaan atau tidak? Ikut pemerintah atau Muhammadiyah? Di Indonesia, hari raya idul Fitri/ Idul Adha terjadi dalam dua hari yang berbeda adalah bukan hal yang baru lagi. 

Pemerintah bersama dengan Nahdatul Ulama (NU) menetapkan awal bulan baru dengan menggunakan metode Rukyat yaitu dengan melihat bulan untuk menentukan awal bulan baru. Mereka berpatokan atas dasar hadist Rasulullah SAW: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Sedangkan Muhammadiyah menetapkan awal bulan baru dengan metode hisab yaitu dengan cara perhitungan. Banyak pihak yang menganggap metode ini adalah bid’ah karena tidak meneladani Rasulullah SAW.  Ada juga yang berpendapat metode ini menggunakan kriteria lama. Tak sedikit pula yang mengkritik Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam yang tidak patuh pada pemerintah dan selalu membuat kebingungan di kalangan umat Muslim karena selalu membuat perbedaan. 

Pihak Muhammadiyah tentu saja tidak menentukan tanggal hari raya lebaran dengan begitu saya, akan tetapi dengan melakukan serangkaian studi yang mendalam dengan tetap berpegangan pada ayat Al Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW. Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Berikut adalah alasan-alasan mengapa Muhammadiyah menggunakan metode Hisab bukan Rukyat:

Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Setelah mendengar penjelasan beberapa udztad dan membaca beberapa artikel untuk membandingkan antara metode Hisab dan Rukyat, sekarang saya benar-benar mengerti mengapa Muhammadiyah menggunakan metode Hisab. Pada dasarnya metode rukyat ataupun hisab, keduanya sah-sah saja karena masing-masing memilki dalil yang berdasar pada Al Qur'an dan hadist. Yah, kalau dulu saya ikut berlebaran bersama Muhammadiyah karena keluarga saya sebagian besar adalah pengikut Muhammdiyah, Alhamdulillah sekarang saya tidak ragu lagi ikut Muhammadiyah. Kalau yang lain mau ikut keputusan Pemerintah, ya silahkan….monggo….please….






Ref:

Thursday, August 25, 2011

Tradisi Lebaran di berbagai Belahan Dunia


Indonesia
Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tak heran bila perayaan lebaran di Negara kita sangat terasa meriah bila dibandingkan dengan Negara-negara lain. Berbagai persiapan dilakukan jauh hari sebelum hari raya tiba. Menjelang lebaran biasanya ibu-ibu sibuk membuat kue-kue kering, beres-beres rumah, serta berbelanja perlengkapan rumah tangga dan baju lebaran untuk keluarga. Selain itu ada pula kebiasaan menukarkan uang pecahan kecil yang akan dibagi-bagikan kepada anggota keluarga  yang masih anak-anak. Bagi yang tinggal di perantauan, kebanyakan dari mereka mudik ke kampung halaman masing-masing.

Pada malam takbir atau hari terakhir puasa, mesjid-mesjid mengumandangkan takbir bersahut-sahutan. Jalan-jalan di perkotaan ramai oleh pawai takbiran keliling. Tak jarang diadakan pesta kembang api.  Sedangkan di pedesaan, anak-anak berkumpul serta berkeliling desa mengumandangkan takbir sambil membawa obor.

My favorite menu for lebaran 'coto and ketupat'
Pada hari raya lebaran, masyarakat muslim biasanya melaksanakan shalat Id di mesjid atau di lapangan. Setelah itu, bersilaturahmi ke rumah tetangga dan kerabat saling bermaaf-maafan. Beberapa rumah sering mengadakan acara ‘open-house’ yang diperuntukkan bagi semua orang meskipun bukan kerabat ataupun teman. Tamu-tamu yang datang bertamu biasanya dijamu dengan makanan dan minuman seperti ketupat, opor ayam, kari, sambal goreng hati, rendang, kue kering dan minuman dingin berupa sirup, teh hangat, atau kopi. Tapi, menu special khas Makassar yang paling enak adalah coto dan ketupat (Mmmm….yummy!)


Arab Saudi
Tak hanya di Indonesia ada tradisi silaturahmi. Di sejumlah negara Arab, tradisi berkumpul dan saling mengucap maaf juga dilakukan di antara keluarga dan kerabat. Seperti dikutip dari Arab News, setelah mengikuti ibadah Al-Mashhad atau salat Id di masjid-masjid besar terdekat, mereka biasanya berkumpul di rumah keluarga tertua untuk bersilaturahmi. Mereka menggelar pesta makan siang dengan menu-menu khas.

Usai pesta makan siang dengan keluarga besar, barulah mereka memasuki tradisi silaturahmi dengan tetangga dan sejumlah kerabat seraya mengucap rangkaian selamat Idul Fitri.  Selama lebaran, semua pintu rumah biasanya sengaja tak dikunci untuk memudahkan kerabat, tetangga atau keluarga yang hendak bertandang. Mereka juga menyiapkan satu meja lengkap dengan kertas dan pena di dekat pintu untuk menyambut tamu yang tak bisa bertemu tuan rumah.

Jika saat berkunjung tak ada orang di dalam rumah, mereka akan menaruh bingkisan seperti sekotak permen, kue, atau satu set parfum di atas meja yang telah disiapkan. Lalu mencatat pesan Idul Fitri di kertas yang telah disediakan.


Turki
Masyarakat Turki menyebut Idul Fitri sebagai perayaan 'Seker Bayram?', atau 'Ramazan Bayram?', yang merupakan kebiasaan orang untuk saling menyapa. Mereka biasanya akan berkata "Bayraminiz Kutlu Olsun" (Semoga Anda Bayram, Jadilah Dirayakan), atau "Mutlu Bayramlar" (Selamat Bayram), atau "Bayraminiz Mubarek Olsun".

Untuk beberapa tradisi, perayaan Idul Fitri di Turki tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Semua orang berkumpul dengan keluarga dan teman dekat mengenakan pakaian terbaik yaitu 'Bayramlik', yang sering dibeli hanya untuk kesempatan ini.

Mereka juga mengunjungi makam orangtua dan keluarga untuk mendoakan, sambil menghiasinya dengan bunga serta menyiram tanaman di sekitarnya dengan air.

Perayaan Idul Fitri juga sangat ditunggu oleh anak-anak. Mereka biasanya berkeliling ke rumah tetangga menghantar doa agar setiap orang yang merayakan Bayram bahagia. Doa itu akan dibayar coklat, atau permen tradisional seperti baklava dan Turkish Delight. Persamaan lainnya dengan di Indonesia adalah pembagian uang receh untuk anak-anak.

Kota-kota di seluruh negara juga membuat acara penggalangan dana bagi masyarakat miskin. Ada pertunjukan musik konser atau pagelaran seni tradisional seperti Karagöz dan Hacivat, berupa pertunjukan teater oleh Mehter dan Janissary Band yang didirikan pada zaman Kekaisaran Ottoman.

Perayaan Bayram di Turki berarti membantu orang yang kurang beruntung, mengakhiri permusuhan dari masa lalu dan bergembira sambil sarapan dan makan malam bersama  orang-orang tercinta.

Perayaan di lingkungan pemukiman pun tidak kalah seru, rumah-rumah dan jalan dihiasi sedemikian rupa untuk merayakan kemenangan setelah satu bulan berperang melawan hawa nafsu. Televisi dan radio di Turki juga menyiarkan program khusus Bayram, seperti film-film khusus, program musik dan perayaan bersama selebriti dan politisi.


Mesir
Saat Lebaran, di Mesir memang ada tradisi silaturahim dan kumpul-kumpul keluarga, tapi tampaknya tradisi itu hanya terbatas acara keluarga dan kerabat terdekat saja, dan tidak melibatkan tetangga sekitar, apalagi teman sejawat atau seprofesi. Barangkali kondisi sosial di Mesir, khususnya di kota metropolitan seperti Kairo, jauh lebih baik dibandingkan kondisi sosial kita di perkotaan kita sekalipun. Bentuk rumah apartemen yang bertingkat-tingkat seperti susunan kardus raksasa yang menjadi tempat tinggal bagi orang Mesir, seakan membuat sekat-sekat sosial yang menjadikan tidak terjalin hubungan yang akrab antartetangga.

Bagi sebagian masyarakat yang tidak memiliki ruang tamu untuk menampung para kerabat yang datang, biasa mereka memilih bersilaturahim ngobrol-ngobrol santai sembari menikmati hidangan makanan ringan di taman. Hadiqah atau taman merupakan tempat alternatif favorit untuk silaturahim saat Lebaran. Dengan demikian, pada Idul Fitri seperti ini taman-taman seperti hadiqah Azhar, hadiqah Athfal, hadiqah Daulliyah, hadiqah Yaban dan hadiqah-hadiqah kecil lainnya dibanjiri para pengunjung.

Soal makanan pun tentu berbeda. Jika di beberapa daerah di Indonesia kita menyajikan berbagai macam hidangan khas Lebaran seperti ketupat, opor ayam dan beraneka ragam jenis kue-kue, maka bagi orang Mesir hidangan Lebaran yang menjadi favorit adalah ranja. Ranja jenis makanan dari ikan asin dan asinan sejenis acar. Untuk jenis kue Lebaran yang disediakan orang Mesir saat hari raya, tidak jauh berbeda dengan kue-kue lebaran di tempat kita.


Amerika
Umat Muslim di Amerika Utara pada umumnya merayakan Idul Fitri dengan cara yang tenang dan khidmat. Karena penetapan hari raya bergantung pada peninjauan bulan, seringkali banyak masyarakat tidak sadar bahwa hari berikutnya sudah Idul Fitri. Masyarakat menggunakan metode yang berbeda untuk menentukan penghujung Ramadhan dan permulaan Syawal. Orang Amerika Utara yang berada di wilayah timur bisa jadi merayakan Idul Fitri pada hari yang berbeda dibanding mereka yang di wilayah barat. Pada umumnya, penghujung Ramadan diumumkan via e-mail, website, atau melalui sambungan telepon.

Umumnya, keluarga Muslim di Barat akan bangun sangat pagi sekali untuk menyiapkan makanan kecil. Setiap orang didorong untuk berpakaian formal dan baru. Banyak keluarga-keluarga yang memakai pakaian tradisional dari negara mereka, karena kebanyakan Muslim disana ialah imigran. Selanjutnya mereka akan pergi ke majlis yang paling dekat untuk salat. Salat itu bisa diadakan di masjid lokal, ruang pertemuan hotel, gelanggang, ataupun stadion lokal. Salat Idul Fitri sangat penting, dan umat Muslim didorong untuk salat Id memohon ampunan dan pahala. Setelah salat, ada kutbah dimana imam memberikan nasihat bagi jamaahnya dan biasanya didorong untuk mengakhiri setiap kebencian ataupun kesalahan lampau yang mungkin mereka punya. Setelah salat dan khutbah, para jamaah saling memeluk dan satu sama lain saling mengucapkan selamat Idul Fitri. Muslim di Amerika Utara juga merayakan Idul Fitri dengan cara saling memberi dan menerima hadiah kepada keluarga.


Asia Selatan (India, Pakistan dan Bangladesh)
Di Bangladesh, India, dan Pakistan, malam sebelum Idul Fitri disebut Chand Raat, atau malam bulan. Orang-orang mengunjungi berbagai bazar dan mal untuk berbelanja, dengan keluarga dan anak-anak mereka. Para perempuan, terutama yang muda, seringkali satu sama lain mengecat tangan mereka dengan bahan tradisional hennadan serta memakai rantai yang warna-warni.

Cara yang paling populer di Asia Selatan selama perayaan Idul Fitri adalah dengan mengucapkan Eid Mubarak kepada yang lain. Anak-anak didorong untuk menyambut para orang tua. Didalam penyambutan ini, mereka juga berharap untuk memperoleh uang, yang disebut Eidi, dari para orang tua.

Di pagi Idul Fitri, setelah mandi dan bersih, setiap Muslim didorong untuk menggunakan pakaian baru, bila mereka bisa mengusahakannya. Sebagai alternatif, mereka boleh menggunakan pakaian yang bersih, yang telah dicuci. Orang tua dan anak laki-laki pergi ke masjid atau lapangan terbuka, tradisi ini disebut Eidgah, salat Ied, berterimakasih kepada Allah karena diberi kesempatan beribadah di bulan Ramadan dengan penuh arti. Setiap Muslim diwajibkan untuk membayar Zakat Fitri atau Zakat Fitrah kepada fakir miskin, sehingga mereka dapat juga turut merayakan hari kemenangan ini.

Setelah salat, perkumpulan itu dibubarkan dansetiap Muslim saling bertamu dan menyambut satu sama lain termasuk anggota keluarga, anak-anak, orang tua, teman dan tetangga mereka.

Sebagian Muslim juga berziarah ke makam anggota keluarga mereka untuk berdoa bagi keselamatan almarhum. Biasanya, anak-anak mengunjungi sanak keluarga dan tetangga yang lebih tua untuk meminta maaf dan mengucapkan salam.

Setelah bertemu dengan teman dan sanak keluarganya, banyak orang yang pergi ke pesta-pesta, karnaval, dan perayaan khusus di taman-taman (dengan bertamasya, kembang api, mercon, dan lain-lain). Di Bangladesh, India, dan Pakistan, banyak dilakukan bazar, sebagai puncak Idul Fitri. Sebagian Muslim juga memanfaatkan perayaan ini untuk mendistribusikan zakat mal, zakat atas kekayaannya, kepada orang-orang miskin.

Dengan cara ini, umat Muslim di Asia Selatan merayakan Idul Fitri dalam suasana yang meriah, sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah, dan mengajak keluarga mereka, teman, dan para fakir miskin, sebagai rasa kebersamaan.

Cina
Disebuah negara yang menganut sistem politik komunis, perayaan Idul Fitri tetaplah meriah, meskipun terbatas sesuai jumlah muslim di Cina yang tidak banyak. Di Xinjiang, pagi di hari Idul Fitri sekitar 1000 muslim akan melakukan sholat Id. Para pria mengenakan jas khas dan kopiah putih, dan para wanita mengenakan baju hangat dan kerudung setengah tutup. Pesta makan diisi dengan masak besar untuk seluruh jamaah yang hadir diikuti dengan makan bersama. Acara kemudian dilanjutkan dengan saling mengunjungi kerabat dan silaturahmi. Acara juga diisi dengan bersih-bersih makam dan pembacaan doa di makam kerabat. Hal yang menjadi ciri khas lebaran disana adalah upacara mengenang pembantaian umat muslim oleh dinasti Qing dan juga selama revolusi kebudayaan.


Eropa
Rata-rata perayaan lebaran di negara-negara Eropa yang memiliki komunitas muslim sedikit sangat jauh dari kemeriahan. Karena Idul Fitri bukanlah hari libur resmi, maka muslim di negara ini harus tetap bekerja atau sekolah sebagaimana hari biasanya. Muslim akan berusaha mengambil cuti di hari ini supaya tetap bisa mengikuti Shalat Id dan berkumpul dengan sesama muslim di masjid, kemudian berkumpul bersama keluarga di rumah.

Meskipun tradisi dan kemeriahan menyambut lebaran atau hari raya Idul Fitri, berbeda antara satu negara dengan negara lainnya atau satu tempat dengan tempat lainnya, namun yang pasti esensi memperingati atau merayakan Idul Fitri adalah sama. Yakni, membuka kesucian diri dan merayakan kemenangan melawan nafsu.


"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1432 H.
MINAL AIDIN WAL FAIDZIN. MOHON MAAF LAHIR BATIN."
Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ   (^_^)    Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ  



 Source:

Wednesday, August 24, 2011

THEORIES USED IN ANALYZING LITERATURE, LINGUISTICS, AND CULTURE


Ø  FORMALISM THEORY
Formalism theory is a part of structuralism. Etymologically, formalism was from a Latin word, forma, which has meaning form or shape. Formalism theory refuses the assumption that literary works are the expression of life’s view. It also refuses if the function of literary works only as a media to know more about the essential of the culture. Formalism theory can be used to analyze literature and linguistics.
v  Formalism in linguistics
Structuralism in linguistics was first leaded by Ferdinand de Saussure through mazhab Jenewa. The basic concept is the differentiation between:
 a) Significant (form, sound, symbol, signifier) and signifie (which  means signified, symbolized, signifier),
 b) Parole (words, individual language use) and langue (the languages which have been agreed)
 c) Synchronic (the study of language in a certain time) and diachronic (the study of language over the time).
               According to de Saussure , languages are similar with music, in understanding it, we must note the whole parts, not individually. Linguistics modern could be developed by a) giving a priority to the analysis of synchronic and leaving the analysis of diachronic of the nineteenth century. b) Giving a priority to the language as a system (langue).
v  Formalism in Literature
The main purpose of this theory is the study of literature by analyzing the elements of literature, poetry, association, opposition, etc. Formal method does not destruct the text and reduce, but reconstruct by maximizing the concept of functions so that the text can be organized. The essential of literariness is the general character of the formalist.
Ø  DYNAMIC STRUCTURALISM THEORY
Etymologically, structure came from word, structura (Latin), means form or building. Structuralism is an understanding of elements of the structure itself with mechanism of interrelation, the interrelation of one element with the others, and the interrelation of one element with the totality.  Dynamic structuralism was first found by Mukarovsky and Felik Vodicka. They said that literary works are the process of communication, fact of semiotic, consists of sign, structure, and values.
Definitively, structuralism gives attention to the analysis of elements in literary works. The elements of prose are theme, conflict, setting, characters, plot, point of view, and style of language. Elements in poetry are theme, stylist, imaginary, rhyme, diction, symbol, etc.   Elements in Drama are theme, dialog, conflict, setting, character, plot, and style of language.
Ø  SEMIOTIC THEORY
In the early of 20th century, semiotic was first found as the effect of the stagnancy of the structuralism itself. According to Noth (ibid, 11) there are four tradition which caused the birth of semiotic; they are, semantic, logic, rhetoric, and hermeneutic. Semiotic was from word Greece, seme, means sign interpreter. In a wider sense, as a theory, semiotic is the study of systematic about production and sign interpretation, way of working, and the use in the human life. The theory of semiotic can be used in Linguistics, literature, and culture.
v  Semiotic in linguistics
Saussure was also known as an expert of semiotic in linguistics. The concepts of Saussure consist of  two sign different side as a dichotomy, such as: signifier (signifier, significant, semaion) and signifie (signified, signifie, semainomenon), individual utterance (parole) and general language (langue), syntagmatic and paradigmatic , diachronic and synchronic. The other concept is the difference of language expression (parole, speech, utterance) and system of things among the signs, system which is used by all people (langue, language). Parole is concrete and formed a language system which is abstract (langue).     
v  Semiotic in literature
There are many ways in analyzing literary works by semiotic. According to Wellek and Warren, the most common use in analyzing literary works is through two steps, intrinsic analysis and extrinsic analysis. The other way which was conveyed by Abrams (1976; 6-29), combined four aspects; they are a) the author (expressive), b) universality (mimetic), c) the reader (pragmatic), d) objective (the works itself).
Signs are not limited in a written text. There should be relationship among the author, the work, and the reader. Literary works in text also contain meaning as non verbal signs such as the book cover, color arrangement, thick of book, font letter. 
v  Semiotic in culture
Cultural semiotic described by Aart van Zoest (1993; 124-131), is too general if it is related to the definition of culture, so all models of semiotic are included in cultural semiotic. Cultural semiotic is signs which are contained in a certain group of society, human and many kinds of tradition and habits. This method is used to remember that basically, as a creature; human can not be separated with the society.
 Aart van Zoest said that social interaction is happened as the result of excite and interpretation to system of signs, signs of language or non- language.
Ø  NARRATOLOGY STRUCTURALISM THEORY
Narratology was from the Latin word narratio, means story, words, tale) and logos, means study.  Narratology is also called theory of narrative text. Narration is definited as the representation of two factual events or fictional in a sequence of time. Narrator is a speaker in a text; subject linguistically, not a person, not an author.
Narratology is usually used in analyzing literature. Almost the entire genres of literature, especially fiction use the elements of story and the narration.    In literary works the narration also called plot. Without plot, text and literary works only have a function as fact.
Ø  POSTMODERNISM THEORY
Postmodernism was from the Latin word, modo, means new. This theory is an activity when a progress success to be achieve. The characteristic of postmodernism are the refusal of a center, absolution, great narration, metanarration, history movement which is monolinier. This theory can be used in analyzing literature and culture.
v  Postmodernism in literature
Postmodernism in literature relate with the characteristic of literary works, as a concept, not a theory. As a postmodernism stream, literary works can not be separated with philosophy. One literature example of postmodernism is science fictions, a literary work where the reader always asked about the existence of the reality.

v  Postmodernism in culture
      As a cultural movement, postmodernism is a deodorization, fighting the authority on a stage play, not anymore playing a character as an investor, labor, and country. The development of postmodernism is supported by the improvement of the technology. Television, besides as the main media of films, it is also a popular media of culture which is more flexible and efficient to the film it self. 
Ø  FEMINISM THEORY
Feminism was found in the early of 20th century by Virginia Woolf in her book a Room of One’s Own (1929). Its development was so fast, as one of the aspect theories of contemporary culture. Etymologically, feminism was from word femme, means woman (singular) which fighting for the right of women (plural).
Sociologically, feminism literature based on understanding about women’s inferiority. As a cultural activity, feminism literature has to be differentiated to the man’s literature, in relation with the writer or the reader. Linked with the emancipation movement in American in 1700s, feminism literature has direction to open, deconstruct the system of literature which always in the man’s authority.  Feminism has some ideology; they are liberal feminism, radical feminism, Marxis feminism, and sociology feminism.
Ø  POSTCOLONIALSM THEORY
In etymology, post colonialism was from words ‘post’ and ‘colonial’ (agricultural land, residence), so post colonialism did not contain the meaning as colony, authority, and the connotation of exploitation.
According to Shelley Walia (2001: 6; said, 2003: 58-59) the project of post colonialism was first found by Frantz Fanon in his book Black Skin, White Masks and the Wretched of the Earth (1967). Definitively, the theory of post colonialism presented after the colonialed countries get their independences.
There are four reasons why this theory is very suitable to be used in analyzing literary works:
o   As a cultural phenomenon, literature shows the system of communication between the sender and the receiver, as a mediator between the past and the present time.
o   Literary works show different life problematic, emotionality and intellectuality, fact and fiction. Literature is the society it self.
o   Literary works are not bound in space and time. Contemporary is the most significant manifestation. 
o   Some problems are not described in symbolic, hidden, so that the real purpose is not appeared.
Ø  POSIVISTIC METHOD
Positivistic is an approach based on the though of Comte’s philosophy. Positivistic try to find facts or the causes of objective phenomenas, apart from the personal subjective view. The characteristics of this approach can be seen from three studies:
o   Ontologism aspect, the positivistic wish that the reality of culture can be studied independently, can be controlled, and can be eliminated by the other object.
o   Epistemology, try to find the generalization of cultural phenomenon.
o   Axiology, wish the process of cultural research free of values. It means that the researchers need the objectivity which is not limited in space and time.
                  Positivistic can be used to analyze the culture in a society.

Ø  NATURALISTIC METHOD
Naturalistic is behavior and value which are believed by a group of human that only can be understood trough the analysis of their natural setting. This method is suitable to be used in analyzing about the culture.
In relation with using method, naturalistic approach covered three things:
·         Naturalistic sometimes is equaled with the explanatory research that is method to decline the hypothesis to evaluate it.
·         Naturalistic is sometimes equaled with field research that is method of natural environment study.
·         Naturalistic is sometimes viewed as the facility to study about the real phenomenon, such as definition of situation, the meaning which is constructed sociologically, or interpretation about the social events.


Synchronic and Diachronic in Historical Linguistics

Historical linguistic is the branch of linguistics concerned with the study of phonological, grammatical, and semantic changes, the reconstruction of earlier stages of languages, and the discovery and application of the methods by which genetic relationships among languages can be demonstrated.
Ferdinand de Saussure, the most influential scholar in twentieth century linguistics and modern intellectual history had published Cours de Linguistique generale (1916) after hi death in 1913. It was compiled from his students’ notes from his course in general linguistics (given three times between 1907 and 1911) at the University of Geneva. This book is credited with turning the tide of linguistic thought from the diachronic (historical) orientation which had dominated nineteenth-century linguistics to interest in the synchronic (non-historical) study of language.
            Saussure emphasized the synchronic study of language structure and how linguistic elements are organized into the system of each language. The thing signified, say the notion tree, is arbitrarily associated with the sounds (signifier) which signal it, for example with the sound of Baum I n German, kwawitl in Nahuatl, rakau in Maori, tree in English, and so on. According to Saussure, linguistic entities were considered members of a system and were defined by their relations to one another within that system. So, we can conclude that synchronic is the study of language at a given point in time. The time studied may be either the present or a particular point of he past, considered in abstraction from its history; synchronic analyzes can also be made of dead languages, such as Latin.
          Linguistics is also interested in language history, i.e. in working out the details of how particular languages develop through time. The study of synchronic variation, though associated with quantitative sociolinguistics is a window into change in progress, especially in the assumption that an innovation, whether internally caused or introduced through contact with speaker of other languages, start in restricted part of a speech community and then spreads. On the other hand, the study of language history is a window, perhaps a speculative one, into the past, and it is associated with reconstruction of earlier language states and with working out the relationships among languages that give a clue to how they came to be as they are.
            The goal of (synchronic) linguistic theory is to characterize the class of possible human languages, thereby ruling out those linguistic states which never occur and are “impossible” human languages. Most linguists have attempted to conclude that synchronic goal is to identify a set of linguistic universal. In doing synchronic analysis we usually identify a “slice” of a language at a particular point in time. Thus, while English of the twentieth century forms a synchronic “slice” that we can examine, so does modern English, define from Shakespeare’s time in the late sixteenth century to the present, and so does English of the 1980s, etc. So, we can define diachronic as the transition through successive, finely cut synchronic states, and schematized as follow:
                        D         L1        Synchronic stage 1
                        I           L2        Synchronic stage 2
                        A         L3        Synchronic stage 3
                        C         L4        Synchronic stage 4
                        H         -                       -
                        R         -                       -
                        O         -                       -
                        N         Ln        Synchronic stage n
                        Y         Ln+1   Synchronic stage n+1
            The transition between synchronic stages, in as much as the division between these stages is arbitrary, and diachronic forms a continuum of synchronic stages. As Labov 1982 notes, in essence, “solution to the transition problem can be restated as solution to the problem, ‘how can language change from one state to another without interfering with communication among members of the speech community?”
            Finally there is the “actuation” problem of why a given linguistic change occurred at the particular time and place it did. This problem seeks to find the condition that lead to a given change, and adds a further dimension to the understanding of language change, for if understand the causes of change well enough and pinpoint certain condition present in speech community or linguistic system.
            Virtually all aspects of a language are subject to change, except for those that correspond to absolute linguistic universals that truly cannot be violated. Thus, the simple answer to what can change in language is “(virtually) everything,” though is not the case that everything in language at given point must change- there can be diachronic stability as well as diachronic change. For example, the Greek word anemos “wind” has remained virtually unchanged for at least 2,500 years in its segmental phonological composition, its morphological form, its syntactic behavior, and meaning, except foe the realization of the main accent, from high pitch to grater loudness. We can say that diachronic is the study of language over a period of time, where a diachronic account of a language deals with its history, and diachronic theory deals with the nature of historical change in general, and so on.

Scope of Discourse analysis  
            There are three approaches in analyzing historical discourse. But, this cross-disciplinary field may be approached at least two different direction.
            The first approach involves an application of discourse analysis to language history. It is the study of discourse forms, function, or structures- that is, whatever is encompassed by discourse analysis- in earlier periods of a language. However this approach is essentially synchronic, since it involves an analysis, albeit a discourse- oriented one, of a language at a particular stage in its development.
            The second approach involves an application of discourse analysis to historical linguistics. It is the study of “discourse-pragmatic factors” in language change or of the discourse motivations behind diachronic changes, whether phonological, morphological, syntactic, or semantic. The attention of the historical linguist is focused on discourse matters, yet the emphasis remains on language change. Such an approach has the advantage of providing elucidation of certain changes and a fuller understanding of diachronic processes of change.
            The third approach, though less well develop than the others, is more interdisciplinary, involving a synthesis of discourse and diachronic. It involves a study of the changes in discourse marking, functions, and structure over time. That s discourse structure is treated on a par with phonological, morphological, syntactic, and semantic structure as something which changes and develops over time, so that one might legitimately talk of discour(al)  changes as well as, for example, phonological change. This approach may be termed diachronic(ally oriented) discourse analysis.