Sunday, August 28, 2011

Muhammadiyah Merayakan Idul Fitri tanggal 30 Agustus 2011


Setiap menjelang lebaran Idul Fitri atau Idul Adha, selalu saja ada ada pertanyaan dikalangan umat Muslim di Indonesia, bulan Ramadhan tahun ini 29 hari atau 30 hari? kita berlebaran bersamaan atau tidak? Ikut pemerintah atau Muhammadiyah? Di Indonesia, hari raya idul Fitri/ Idul Adha terjadi dalam dua hari yang berbeda adalah bukan hal yang baru lagi. 

Pemerintah bersama dengan Nahdatul Ulama (NU) menetapkan awal bulan baru dengan menggunakan metode Rukyat yaitu dengan melihat bulan untuk menentukan awal bulan baru. Mereka berpatokan atas dasar hadist Rasulullah SAW: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Sedangkan Muhammadiyah menetapkan awal bulan baru dengan metode hisab yaitu dengan cara perhitungan. Banyak pihak yang menganggap metode ini adalah bid’ah karena tidak meneladani Rasulullah SAW.  Ada juga yang berpendapat metode ini menggunakan kriteria lama. Tak sedikit pula yang mengkritik Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam yang tidak patuh pada pemerintah dan selalu membuat kebingungan di kalangan umat Muslim karena selalu membuat perbedaan. 

Pihak Muhammadiyah tentu saja tidak menentukan tanggal hari raya lebaran dengan begitu saya, akan tetapi dengan melakukan serangkaian studi yang mendalam dengan tetap berpegangan pada ayat Al Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW. Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Berikut adalah alasan-alasan mengapa Muhammadiyah menggunakan metode Hisab bukan Rukyat:

Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Setelah mendengar penjelasan beberapa udztad dan membaca beberapa artikel untuk membandingkan antara metode Hisab dan Rukyat, sekarang saya benar-benar mengerti mengapa Muhammadiyah menggunakan metode Hisab. Pada dasarnya metode rukyat ataupun hisab, keduanya sah-sah saja karena masing-masing memilki dalil yang berdasar pada Al Qur'an dan hadist. Yah, kalau dulu saya ikut berlebaran bersama Muhammadiyah karena keluarga saya sebagian besar adalah pengikut Muhammdiyah, Alhamdulillah sekarang saya tidak ragu lagi ikut Muhammadiyah. Kalau yang lain mau ikut keputusan Pemerintah, ya silahkan….monggo….please….






Ref:

No comments:

Post a Comment