Tuesday, April 10, 2012

Budaya Suap di Departemen Agama


Beberapa pekan yang lalu, saya pergi ke salah satu kantor pemerintah. Sebuah departemen yang bila dilihat dari namanya saja, kita mungkin berpikir bahwa orang-orang yang berada di dalamnya (pejabat dan pegawainya) cukup berakhlak. DEPARTEMEN AGAMA (Maaf, saya terpaksa menyebutkannya).

Saya yang seorang guru honorer rela terpontang-panting mengurus berkas ke sana ke mari demi secercah harapan kehidupan. Di tengah  hujan deras, saya memacu gas motor agar tidak terlambat menyetor berkas. Alhasil, pakaianku basah karena air menembus jas hujanku. Tapi, saya tetap tersenyum. Hujan tak lekas menyurutkan semangatku untuk menyelesaikan urusan ini.

Dan tibalah pada saat saya harus berurusan dengan pegawai yang menangani kami, guru-guru tersertifikasi. Ada sesuatu yang berbeda dengan pegawai ini. Sungguh berbeda 180 derajat.  Ia tak lagi tersenyum seperti biasanya. Sikap dinginnya membuatku bingung. Ada apa gerangan? Kesalahan apa yang telah kuperbuat sehingga ia menandatangani berkasku dengan sikap seolah begitu kesal kepadaku?

Sedikit tersadar ketika salah satu rekan guru dari sekolah lain bertanya apakah saya punya amplop. Saya balik bertanya, “Loh, amplop untuk apa?” Dia menjawab, “Sedikit pembeli rokok untuk pak B.” Yang dimaksud rekanku tadi adalah pegawai yang tadi.

Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya pada salah satu rekan yang berasal dari sekolah yang sama denganku. Saya pun menceritakan kejadian tentang pegawai tadi. Rekanku itu menjawab sambil tertawa, “Oh, itu artinya dia menunggu sesuatu.”

Waktu itu saya berpikir sejenak, kemudian langsung tersadar dan mengerti. Intinya tidak ada yang gratis di dunia ini. No money no smile. Saya baru tahu kalau selama ini kebanyakan guru yang tersertifikasi melalui departemen ini rupanya memberi setoran kepada pegawai-pegawai yang bersangkutan dengan mereka. Ada yang menyebutnya sebagai tanda terima kasih, ada pula yang menyebutnya sebagai pelicin. Ini sudah jadi rahasia umum. Hanya saja saya yang terlalu lugu dan polos.

Sungguh memprihatinkan Negeriku ini. Sogok menyogok sudah menjadi budaya yang mengakar dan melebar. Yang menyogok dan yang disogok sudah tidak punya rasa malu, terlebih lagi rasa takut kepada Tuhan.

Dilema alias serba salah. Sejak kecil saya dididik oleh orang tua saya untuk senantiasa berlaku jujur dan ikhlas. Saya sudah terbiasa meraih sesuatu tanpa harus menyogok. Mereka para pejabat dan pegawai pemerintah rupanya belum cukup puas dengan gaji bulanannya yang mungkin berkali lipat dari hasil sertifikasi honorer yang saya terima. Bila saya menolak untuk memberi mereka ‘amplop’, kemungkinan besar segala urusan saya yang berhubungan dengan kantor ini akan dipersulit dan rekan-rekan sesama guru akan menganggap saya pelit. Bila saya memberi mereka ‘amplop’, itu artinya saya turut membudayakan kebiasaan menyogok. Dan bila hal ini dibiasakan, mereka tentu akan semakin bersikap tidak ikhlas kepada mereka yang tak memberi pelicin. Padahal, sepatutnya sudah menjadi tugas mereka sebagai abdi Negara.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membuka aib, saya hanyalah orang biasa yang merasa tidak nyaman dengan kejadian seperti ini. Dan saya sangat berharap agar Depag segera membenahi diri karena sesungguhnya keikhlasan dalam bekerja diberkahi Allah SWT. Seperti motto Depag 'Ikhlas Beramal'. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita sehingga terhindar dari azab kubur dan api neraka. Amin Ya Rabb....



1 comment: