"Miya
tambah cantik ya?" Kalimat itu selalu terngiang-ngiang di telingaku. Bagai
tersengat listrik aliran tinggi saat pertama kali kalimat itu terlontar dari
mulut Deva dua hari yang lalu.
Deva adalah sahabat dekatku sejak kelas satu SMA sedangkan Miya adalah Mantan
sahabatku atau persisnya adalah musuh bebeyutanku sekarang. Deva tahu betul
bahwa aku sangat membenci Miya dan dia tahu alasannya. Aku benci karena aku
selalu saja kalah bersaing dari Miya, mulai dari masalah pelajaran hingga
masalah cowok. Semakin lama aku semakin benci kepadanya. Hingga pada suatu hari
aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengannya. Dia semakin berjaya
sementara aku semakin terpuruk. Apakah aku harus kalah dan kalah lagi oleh
Miya?
Pagi-pagi di ruangan kelas III IPA3, aku duduk termenung di bangku paling
depan. "Hai, Ra!" Terdengar suara Deva berjalan
mendekatiku.
Aku diam tak menggubrisnya.
"Pagi-pagi
melamun, pamali atuh neng." Ia menggodaku dengan logat Sundanya.
Aku masih diam.
"Ye...nih
anak kayak patung aja sih." ia berhenti sejenak."Oh, lagi main
patung-patungan ya?"
Aku
semakin cuek dan pura-pura membuka buku Biologiku.
"Ehm,
lo tau gak sih, tadi gue berpapasan dengan Miya di depan pintu gerbang."
Ucapnya penuh semangat. Miya lagi! Miya lagi!
Aku
mulai angkat bicara."Oh gitu." Kemudian berlalu meninggalkan ruangan
kelas.
"Hei
Ra! Lo kenapa sih?" Teriaknya.
***
Pulang sekolah, kepalaku terasa pusing. aku masih memikirkan tentang sikap Deva
dan setumpuk PRku.
Bukkk! Aku melihat Deva berjalan beriringan dengan Miya di depan sekolah.
Rasanya ingin pingsan, tapi aku berusaha untuk tetap bertahan. Aku semakin tak
mengerti mengapa Deva tega mengkhianatiku. Selama ini aku fine-fine aja kalau
Deva naksir cewek lain. Tapi, kali ini perasaanku benar-benar nggak bisa
kompromi. Apa aku cemburu?
Ini bukan pertama kalinya aku dikhianati. Setahun yang lalu, sahabatku Evi dan
Diana juga menkhinatiku dan berpaling pada Miya. Semakin aku melarang mereka
berhubungan dengan Miya mereka semakin menjauh dariku. Padahal aku selalu baik
pada mereka. Yang namanya pengkhianatan memang sungguh menyakitkan.
Dari tempat tidur, kulihat lampu HPku berkedep-kedip. Sebuah pesan dari Deva.
Met
malam! td lo kenapa sih? gak biasanya lo cemberut kyk gt. Lg ada
masalah ya?BLS,please....
Busyet! Dia sengaja atau sedang amnesia sih? Rupanya dia nggak nyadar kalau
kata-katanya tadi di ruangan kelas benar-benar mencabik-cabik hatiku.
***
Esoknya di sekolah pada jam istirahat, Deva menyambangiku di kantin.
Deva duduk di sebelahku. "Syira, lo marah ya ama gue?"
Seperti biasa, aku tetap diam, memberinya kesempatan untuk berpikir tentang
kesalahannya.
"Biar gak marah lagi, hari ini gue
traktir deh."
Tiba-tiba
saja emosiku meluap. Aku tak sanggup lagi memendam kata-kata.
"Pengkhianat! Lo kok tega sih jalan ama musuh gue."
"Loh, emangnya kenapa, Ra?"
"Lo tau kan, gimana gue selama
ini. Sekarang lo harus pilih, sahabat atau musuh sahabat lo." Ucapku
dengan suara meninggi.
"Maksud lo apaan sih?" Ia
berhenti menarik nafas." Lo nggak bisa terus-terusan nyalahin orang lain.
Terus terang aja, selama ini gue gak suka dengan sikap lo yang egois
dengan melarang sahabat-sahabat lo berhubungan dengan Miya. Apa sih salah
Miya?" Balasnya dengan nada tinggi membela Miya. Seketika kami menjadi
pusat perhatian di kantin.
Aku tak kuasa menahan tangis."Oh..,jadi...hiks...hiks...lo lebih memilih
Miya?" Ucapku terbata-bata.
Tanpa menjawab pertanyaanku Deva langsung pergi. Beberapa orang teman berusaha
menenangkanku termasuk ibu kantin.
Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara Miya. "Ra, maafin gue. Gue
gak bermaksud merusak persahabatan lo."
Aku menyeka air mata dan mulai bangkit."Lo puas sekarang?" Aku
menarik nafas panjang. "Lo benci ama gue kan? Apa belum cukup dengan
merampas Evi dan Diana dariku?"
Air mata Miya mulai jatuh berderai."Gue gak pernah benci ama lo. Gue masih
sama seperti yang dulu, waktu kita kecil."
"Benar Ra, emang Miya gak pernah
benci ama lo. Dia selalu pengen baikan lagi ama lo." Bela Evi.
"Lo masih ingat kan, dulu udah
berapa kali Miya berusaha minta maaf ama lo, tapi lo nggak pernah respon.Miya
sempat putus asa dan menuruti kemauan lo untuk tak saling bicara." Lanjut
Diana.
Aku semakin sedih. ternyata begitu banyak orang yang menyayangi Miya. Kali ini
harus kuakui, aku memang udah kalah. "Lo menang Mi. Aku gak ada apa-apanya
dibandingin ama lo."
Miya menghampiriku."Gak ada yang menang dan kalah. Gue pengen kita
sahabatan kayak dulu lagi." Pintanya.
Spontan, aku langsung memeluk Miya. "Iya, kita sahabatan lagi." Dari
balik punggung Miya kulihat Deva berdiri menyaksikan kami berdua sambil membawa
sebuah kue tart dengan lilin angka 17 di atasnya.
"Happy birthday to you. Happy
birthday to you....." Semua orang di kantin menyanyikan lagu selamat ulang
tahun.
Oh my God. Kok bisa-bisanya aku lupa hari ulang tahunku sendiri. Rupanya ini
adalah skenario Deva. Dia ingin memberikan kejutan dengan mengembalikan
persahabatanku dengan Miya, Evi dan Diana. Ulang tahun ke 17 adalah ulang tahun
terindah dalam hidupku.
Riyuni Mark
Maret 2006