Masih mengingat
17 tahun yang lalu ketika saya masih duduk di bangku SD, guru agamaku sedang
menjelaskan pelajaran di depan kelas. Ia berdiri di tengah di antara jejeran
empat buah bangku paling depan. Temanku Luna (nama samaran) duduk di sebelah kirinya dan saya duduk di sebelah
kiri Luna. Saat itu temanku Luna sedang usil, dia terus mengusik keseriusanku
memperhatikan penjelasan guru. Saya menepis gangguannya, akan tetapi ia tidak
berhenti mengusik dengan menarik-narik rambut atau bajuku. Sekejap mata, sebuah
buku tebal menghantam wajahku. Sangat sakit rasanya. Tapi, hatiku lebih perih
lagi begitu menyadari bahwa gurukulah yang telah melayangkan buku agama
tebalnya itu ke wajahku. Masih bingung tidak mengerti, apa salahku, guruku itu
menambahkannya dengan omelan yang menuduhku tidak memperhatikan pelajaran.
Bukankah sejak tadi saya memperhatikan pelajaran, temanku Luna lah yang telah
menggangguku sehingga saya berusaha menghentikannya. Seharusnya guruku itu
mengetahuinya karena ia berdiri begitu dekat dengan bangku kami. Hantamannya dilayangkan
kepadaku melewati Luna yang duduk tepat di dekatnya dan justru sayalah yang
kena. Tentu saya malu dan sedih, tetapi saya berusaha membendung air mata jatuh
di kedua pipiku. Setelah tiba di rumah, saya masih merenungkan. Mengapa guru
saya tadi memukul saya bukannya Luna? Saya baru menyadarinya bahwa Luna adalah
murid rangking 1 di kelasku, ia termasuk murid yang terkenal cantik dan kaya.
Guruku tidak akan mungkin mau mempermalukan murid kesayangannya itu. Hampir
seluruh murid di sekolahku tahu bahwa Luna adalah murid kesayangan guru Agama
itu.
Menginjak
bangku SMP, pelajaran matematika semakin sulit bagiku, tetapi saya
menjadikannya sebuah tantangan. Saya terus berusaha memecahkan kebuntuan itu. Dan
ternyata beberapa kali saya berhasil menjadi salah satu dari sedikit siswa yang
tidak mengulang pada ulangan Matematika di kelasku. Pada pelajaran matematika
di kelas 2, setiap kali guru bertanya siapa yang bisa mengerjakan soal ini? Ketika
saya yakin saya bisa menyelesaikannya, dengan cepat saya mengacungkan tangan
bersaing dengan teman-teman yang lain. Seringkali saya melakukan ini, tapi
guruku itu lebih memilih siswa yang menurutnya lebih pintar dari pada saya.
Bahkan, pada saat hanya saya seorang yang
mengacungkan tangan untuk menyelesaikan sebuah soal matematika yang menurutku
mudah sementara mereka yang lebih pandai dari pada saya tidak ada seorang pun
yang yakin dengan jawaban mereka. Guru ku itu lebih memilih untuk menyelesaikan
dan menjelaskannya sendiri, tidak memberikan kesempatan kepada saya. Ini tidak
hanya sekali, atau dua kali terjadi selama tahun pelajaran itu. Sikap guruku
membuat semangatku untuk mempelajari matematika menjadi semakin lama semakin
berkurang.
Hingga
memasuki masa SMA, mata pelajaran Bahasa Inggris masih menjadi pelajaran
favoritku. Saya tidak begitu pandai dalam Bahasa Inggris, tapi saya menyukainya.
Waktu itu guru bahasa Inggrisku, memberi kami tugas menghafal sekitar dua puluh
kosa kata dalam bahasa inggris beserta artinya. Waktu itu saya sudah berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk menghafalnya. Tiba giliran saya maju ke depan,
tiba-tiba ‘blank’ saya lupa beberapa kata. Dengan wajah kesal, guruku itu
mengomeliku. Katanya saya tidak belajar, tidak berusaha. Malu rasanya diomeli
di depan kelas. Setelah saya, giliran teman saya, si cantik Mary. Saya
memperhatikannya, ia juga tidak menghafal semua kata, bahkan jumlah kata yang ia
lupa lebih banyak dari pada saya. Tenggorokan saya seketika kering, guruku itu
meloloskannya begitu saja, tanpa omelan, malah tutur kata guruku itu tedengar
jauh lebih lemah lembut. Mary adalah siswi yang cantik, kaya dan salah satu
teman se- geng anak perempuan guru bahasa inggrisku itu.
Di gedung DH,
kampus UNM Parangtambung, seorang asisten dosen wanita memberi kami mata kuliah
ILS (Integrated Language Skill). Kami
sedang mempelajari pronunciation dan intonation yang tepat dalam sebuah
percakapan Bahasa Inggris. Kami semua mendapat giliran untuk mengucapakan
sebuah kalimat dengan pengucapan dan intonasi yang tepat. Tiba giliran saya,
ternyata tidak selancar seperti yang kupikirkan, saya diharuskan mengulanginya
beberapa kali. Saya terus berusaha memperbaikinya, akan tetapi wajah dosen itu
menunjukkan wajah yang tidak senang. Entahlah, apakah memang di kelas saya itu
hanya saya yang benar-benar bodoh. Putaran berikutnya, setiap mahasiswa kembali
mendapat giliran untuk melakukan hal yang sama dengan contoh kalimat lainnya. Akan
tetapi, saya selalu di skip alias dilewatkan, tidak mendapat giliran. Putaran ketiga,
keempat, dan kelima, sama saja saya tetap dilewatkan. What’s wrong with me? Am
I invisible? Saya merasa tidak melakukan hal-hal aneh atau hal yang tidak sopan
kepada dosen itu. Hingga saat ini saya
masih tidak mengerti. Sejak semester itu berlalu dan saya mendapatkan nilai C (nilai terendah yang kuperoleh semester itu),
saya tidak pernah lagi bertemu atau melihat dosen itu.
Beberapa
peristiwa atau pengalaman saya tadi, hanya beberapa contoh dari ketidakadiilan
yang saya peroleh selama saya menempuh pendidikan. Sejujurnya, masih banyak
hal-hal lain yang mengganjal dalam pikiran saya selama ini yang tak mungkin
cukup untuk saya ceritakan di halaman ini. Diskriminasi memang sering kali terjadi di
dalam kelas sejak dulu hingga kini. Diskriminasi
adalah bentuk ketidakadilan terhadap individu atau kelompok tertentu yang bisa
merugikan individu atau kelompok tertentu tersebut. Yang sangat disayangkan
adalah apabila tindakan pendiskriminasian ini dilakukan oleh seorang guru atau
tenaga pendidik, dimana seharusnya ia yang menjadi teladan yang baik bagi
anak-anak didiknya.
Sejak dulu,
sejak saya diperlakukan secara tidak adil oleh guru, saya sudah menanamkan sebuah janji
di dalam hati, bila suatu saat nanti saya menjadi seorang guru, SAYA TIDAK AKAN MELAKUKAN TINDAKAN
DISKRIMINASI TERHADAP ANAK DIDIK SAYA. Saya tidak ingin mengulang kekeliruan
beberapa guru saya terdahulu. Kini, saya benar-benar adalah seorang guru, saya tidak
akan pernah mengistimewakan salah satu atau beberapa di antara mereka hanya
karena alasan si A lebih pandai, si B lebih cantik, si C lebih kaya, atau si D
lebih pandai mengambil hati. Kasih sayang kita kepada mereka tidak seharusnya
diukur dengan semua itu. Tidak sulit melakukannya bila kita sebagai guru
menganggap mereka semua adalah anak-anak kita sendiri. Insya Allah, semoga saya
bisa mempertahankannya. Amin Ya Rabbal Alamin…